Konflik Agraria Semakin Membara Islam Solusinya




Oleh: Tri S, S.Si

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti (CNN Indonesia, 24/09/2023).


Pada kasus Rempang Eco-City ini pun, anak-anak turut menjadi korban bahkan pada saat mereka sedang belajar. Lebih miris lagi, pelakunya adalah aparat kepolisian bersenjata lengkap dan sengaja dipersiapkan apabila terjadi bentrokan dalam menuntaskan proyek ini. Sebenarnya, konflik Rempang ini tidak hanya masalah proyek saja, tapi terlihat pemerintah terburu-buru ingin menggusur rakyat yang berada di pulau Rempang. 


Pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk kesejahteraan rakyat melalui investasi. Namun atas nama investasi dan pembangunan akhirnya mengambil hak-hak rakyat, maka disitulah terdapat ketidakadilan. Wajar saja mereka mempertahankan hak-hak mereka. Dengan alasan tanah yang didiami tidak bersertifikat, maka mereka tidak berhak untuk tinggal disitu. Sejatinya warga Rempang telah berupaya untuk melegalkan tanahnya, namun pemerintah menggantung permohonan warga. Sehingga sampai sekarang mereka tidak memiliki bukti yang sah atas kepemilikan tanah tersebut. Dalam teori demokrasi "kedaulatan ada di tangan rakyat". Tapi pada kenyataannya rakyat Rempang tidak berdaulat di tanahnya sendiri. Disini telah terjadi pergeseran makna demokrasi menjadi korporatokrasi, yaitu bukan rakyat yang berdaulat, tetapi pemilik modal yang berdaulat. Negara dipakai sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik para korporat.


Islam menetapkan kedaulatan di tangan syara' dan umat sebagai pemilik kekuasaan. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya), ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42). 

Allah SWT juga berfirman (artinya),”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2).

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19). 

Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),”Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid [57] : 7)


Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).


Dalam Islam ada tiga macam kepemilikan (al-milkiyah) yaitu: kepemilikan individu (milkiyah fardiyyah), kepemilikan umum (milkiyah 'ammah), kepemilikan negara (milkiyah ad-dawlah)


Kemilikan individu adalah izin Asy-Syari’ kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan ini tidak bisa ditetapkan kecuali ada penetapan dari Asy-Syari’ atas barang dan jasa tersebut, juga didasarkan pada sebab-sebab kepemilikan yang ditetapkan oleh Asy-Syari’. Kepemilikan seseorang atas suatu barang tidak muncul dari sisi apakah barang itu bermanfaat atau tidak, tetapi muncul dari izin Asy-Syari‘ dan sebab-sebab kepemilikan yang dibolehkan oleh syariat.


Kepemilikan umum adalah izin dari Asy-Syari (Allah)’ kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan barang dan jasa. Pengelolaan kepemilikan umum pada prinsipnya menjadi hak dan wewenang negara. Adapun dari sisi pemanfaatannya bisa dinikmati oleh masyarakat umum. 

Masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola harta-harta milik umum tadi jika barang-barang tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar. Seperti, pemanfaatan air di sungai atau sumur, menggembalakan ternak di padang penggembalaan dan sebagainya. 

Jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, dan jika tidak dikelola oleh negara akan menimbulkan perselisihan, maka pengelolaan milik umum seperti ini dilakukan hanya oleh negara demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Hasil-hasil pengelolaan negara atas harta-harta milik umum jenis ini, diberikan kepada seluruh rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah. 

Dengan cara ini rakyat bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan murah. Peran negara atas kepemilikan umum sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum atau melakukan privatisasi. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan menjadi miliknya. Demikian pula negara, ia tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang yang bukan menjadi miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. 

Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar ini, negara tidak boleh menjual aset yang bukan menjadi miliknya kepada individu-individu masyarakat.


Kepemilikan negara adalah izin dari asy-Syari’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan Negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ’ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara. Negara, meskipun sama-sama berwenang mengatur dan mengelola harta milik umum dan milik negara, hanya saja ada perbedaan di antara keduanya. Terhadap harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada seseorang meskipun seseorang boleh memanfaatkan harta milik umum tersebut berdasarkan kesertaan dan andil dirinya atas harta tersebut. Adapun terhadap harta milik negara (dalam hal ini Khalifah), berhak memberikannya kepada individu atau sekelompok individu rakyat, tetapi tidak untuk individu lain. Atas dasar itu, negara boleh memberikan harta kharaj kepada petani saja untuk memajukan pertanian dan perkebunan mereka, dan tidak memberikan kepada masyarakat lain. Namun, air, garam, tambang minyak, dan harta milik umum lainnya tidak boleh diberikan kepada seorang pun dari rakyat. 

Demikian jelas hukum syara' mengatur tentang kepemilikan lahan sehingga konflik akan minim terjadi. Namun sebaliknya, konflik agraria masih akan tumbuh kembali selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme karena ketidakjelasan status kepemilikan lahan dimana mereka yang bermodal memiliki akses pada kekuasaan sehingga bisa menguasai lahan dengan bebas. Wallahu a'lam bi ash-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak