Oleh: Tri S, S.Si
Akhir-akhir ini banyak berita tentang kelaparan, kemiskinan bahkan ada yang berujung pada kematian. Seperti kejadian yang dialami oleh warga Blitar ini. Hidup miskin dengan keterbatasan fisik dan mental harus dijalani Sasmiati dan ketiga anaknya. Warga Dusun Dawung Desa Pagerwojo, Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar ini bahkan tak tersentuh bantuan karena karena belum punya e-KTP sebagai syarat. Kondisi rumah Sasmiati juga sangat memprihatinkan. Walaupun dinding rumah yang mereka huni dari tembok, namun bagian atapnya telah rusak. Bahkan bagian dapur yang menjadi aktivitas sehari-hari Sasmiati, terancam roboh dimakan umur. Kondisi rumah yang tak layak huni sudah terjadi hampir 10 tahun ini. Perempuan berusia 54 tahun ini tinggal dengan anak lelakinya yang berusia sekitar 25 tahun. Dan dua anak kembar perempuan berusia sekitar 18 tahun. Mereka semua dalam kondisi keterbelakangan mental. Sehari-hari, anak lelakinya sering ikut pemilik sound sistem dengan bayaran ala kadarnya. Sedangkan dua anak perempuannya masih bersekolah di SLB dengan berjalan kaki setiap hari. Kades Pagerwojo, Mujiadi, keluarga Sasmiati sebelumnya masuk dalam daftar penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun bantuan terhenti karena menurut pendamping PKH nama Sasmiati sudah terpisah dari nama sang ibu yang telah meninggal, sehingga setahun terakhir ini tidak mendapat bantuan. (detikJatim, 02/10/2023).
Faktanya fenomena kemiskinan terus meningkat dari hari ke hari di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam ini. Maraknya kasus anak terlantar, tingginya jumlah pengemis di perkotaan, dan kemiskinan yang semakin kompleks menjadi bukti bahwa pemerintah tak serius dalam mengurusi rakyatnya. Alih-alih menekan jumlah kemiskinan dan kasus sosial lainnya pemerintah tanpa rasa bersalah malah menaikan harga BBM, diam-diam menaikan tarif dasar listrik, dan tanpa dosa membiarkan harga sembako melambung tinggi. UUD 1945 ayat 34 yang disusun oleh negara dari zaman Belanda justru dikhianati sendiri oleh negara. Ketimpangan antara si miskin dan si kaya pun masih terjadi bahkan semakin melebar. Berdasarkan data yang diperoleh Oxfam menyebutkan bahwa total harta empat orang terkaya Indonesia setara dengan 40 persen penduduk termiskin Indonesia. Diakui Kepala Badan Pusat Statistika (BPS) Suhariyanto, walau menggunakan data yang berbeda dengan BPS, tapi terjadi fenomena yang sama, yaitu ketimpangan masih jadi PR besar bagi pemerintah. Pemerintah abai dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengurus rakyat. Dosa besar bagi negara jika membiarkan satu saja rakyatnya mati kelaparan di negara yang gemah ripah loh jinawi.
Sementara di satu sisi membiarkan SDA yang berlimpah dikuasai oleh asing dan aseng. Jangankan minyak bumi dan gas bahkan batu dan pasir pun ikut dikuasai asing dan aseng. Rakyat yang harusnya menjadi penguasa dan pemilik semua kekayaan bumi nusantara malah menjadi “babu” di negeri sendiri. Beban rakyat pun semakin berat dengan semakin tingginya pajak yang harus dibayar oleh rakyat. Rakyat yang sudah sengsara ini pun masih dipalak oleh negara dengan iuran ‘paksa’ untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Padahal semestinya jaminan kesehatan menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakannya secara layak dan tanpa dipungut biaya. Demokrasi yang diagung-agungkan di mana slogannya ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’, kini berubah slogan menjadi ‘dari rakyat, oleh agen kapitalis, untuk para kapitalis’. Nyatanya telah mencetak pemimpin-pemimpin yang tak becus mengelola negara.
Mereka justru tidak melayani rakyat, sebaliknya para pemilik modal yang menjadi tuan-tuan mereka. Kebijakan dan undang-undang yang pro kapitalis semakin menegaskan bahwa negara dikuasai oleh para korporasi berduit. Parlemen hanya menjadi pelayan-pelayan mereka untuk mengokohkan kepentingan mereka atas negeri ini. Apalagi kalau bukan menguras habis kekayaan dan potensi nusantara oleh para kapitalis rakus. Demokrasi yang melahirkan hukum buatan manusia faktanya telah gagal dalam membawa kemaslahatan bagi negeri ini. Demokrasi justru menghantarkan negeri ini pada kehancurannya.
Ketimpangan ekonomi antara si miskin dan si kaya yang semakin melebar akibat pengelolaan SDA yang salah dan gejolak ekonomi akibat dicabutnya subsidi dan tingginya harga kebutuhan pokok rentan memicu gejolak sosial di masyarakat. Rusaknya tatanan keluarga, tingginya angka KDRT, maraknya perceraian, meningkatnya depresi pada ibu, dan masalah sosial lainnya adalah efek domino dari diterapkannya demokrasi atas negeri ini, yang telah berhasil mencetak pemimpin yang gagal mengurus dan mengelola negara.
Inilah akibat negara menganut ideologi sekularisme kapitalisme yang justru menumbuhsuburkan demokrasi yang sebenarnya layak mati. Karena tidak sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas dan tak mampu membuat aturan sendiri. Sejatinya hukum Allah SWT lah yang sesuai dengan fitrah manusia yang layak diterapkan atas negeri ini.
Sejarah telah menulis dengan tinta emas dan membuktikan hanya Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah mengemban amanat untuk melindungi dan mengurus rakyatnya. Karena hanya hukum Allah SWT saja yang menjadi undang-undang yang mengatur urusan negara bukan hukum buatan manusia. Syariah Islam inilah yang nantinya melahirkan pemimpin selevel Umar bin Khatthab, yang memanggul sendiri sekarung beras untuk ibu dan anak-anaknya yang kelaparan di gelapnya malam. Amirul mukminin yang tak dapat tidur sementara rakyatnya kelaparan. Pemimpin yang amanah dalam mengurusi negara dan melindungi rakyatnya ini hanya dapat dijumpai jikalau negeri ini mau mencampakkan ideologi sekularisme, kapitalisme, demokrasi dan derivat lainnya. Serta menggantinya dengan Islam yang aturannya diterapkan secara kaaffah dalam institusi negara yang telah Allah SWT syariatkan yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.
Allahu’alam bishshawwab.