Oleh. Lilik Yani
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.
Ada akherat sebagai kehidupan sangat panjang, bekal apa sudah dipersiapkan? Bukankah ini lebih penting untuk dipikirkan? Jangan sibuk mengumpulkan harta dunia yang sementara!
Dilansir dari CNBC Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk harta kekayaan para pejabat negara Indonesia. Dari sana diketahui sejumlah pejabat memiliki kekayaan fantastis.
Mengutip situs resmi KPK, nilai kekayaan pejabat negara mulai dari Menteri hingga Walikota dan Bupati pada data LHKPN tahun 2022 hingga 31 Maret 2023 itu sangat besar, mulai dari ratusan miliar hingga triliunan. (2/4/23)
Ketahuilah bahwa semua rezeki itu dari Allah Ta’ala. Terkadang Allah luaskan rezeki kepada seseorang, terkadang Allah sempitkan. Tugas kita adalah menerima semua putusan Allah dengan sabar, syukur dan qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah karuniakan. (Muslim.co.id, 9/9/19)
Dunia adalah Kesenangan Sementara
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia adalah kesenangan yang sedikit dan bersifat sementara. Hal ini tentu menjadi sebuah kepastian. Tetapi, apa makna dari Dunia Adalah Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara itu sendiri ?
Kesenangan dan kenikmatan yang dirasakan manusia di dunia pada hakikatnya hanyalah sebentar dan sedikit. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini, seperti firman Allah pada akhir ayat 77 surat al-Nisā‘:
“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. al-Nisā‘ : 77).
“Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang hina.”
Maka Rasulullah Saw., bersabda,
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musrik itu.”
Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk memerangi musuh, tapi mereka (‘Abdul Raḥmān b. ‘Auf) tidak melakukannya. Maka turunlah firman Allah,
“Tidaklah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, tahanlah tanganmu (dari berperang), sampai akhir ayat. (Abī al-Ḥasan)
Ayat ini berkaitan dengan sifat orang-orang munafik yang berkeinginan menunda jadwal perang karena kecintaan mereka terhadap dunia dan kenikmatannya.
Dalam Tafsir Kemenag disebutkan sebuah perbandingan antara perihal akhirat dengan dunia, disana dikatakan bahwa kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah. Sementara itu al-Qurṭubī mengatakan, kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia yang penuh dengan maksiat dan dosa.
Mengenai kehidupan dunia yang hanya sementara Nabi Saw., menyajikan sebuah perumpamaan dalam sabdanya:
“Perumpamaan dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di bawahpohon kemudian ia beristirahat sebentar dan selanjutnya pergi meninggalkannya.” (HR. al-Tirmiżī)
Kemudian ayat lain yang membahas tentang kesenangan dunia terhitung sedikit terdapat pada surat al-Ra’d ayat 26:
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. al-Ra’d/13: 26).
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, matā’ ialah bekal perjalanan. Bekal perjalanan ini selalu disiapkan untuk sebuah perjalanan, seperti tas kecil yang berisikan beberapa baju dan bekal lainnya. Artinya kesenangan dunia itu tidak lebih dari seperti bekal perjalanan yang sedikit lagi singkat)
Kenikmatan hidup dunia ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan akhirat yang besar nilainya sepanjang masa. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu.
Masya Allah, betapa luar biasanya perumpamaan yang Allah berikan terkait dengan kehidupan dunia.
Manusia lahir dengan kondisi yang tidak berdaya, sama seperti benih tanaman yang sangat rentan dengan kondisi lingkungannya. Benih tumbuh menjadi bibit, bibit tumbuh menjadi pohon dan kemudian mati digantikan dengan bibit tanaman baru.
Ketika bibit itu menjadi pohon, maka pohon tersebut akan mencapai puncak produktivitasnya. Begitu juga dengan manusia, manusia pasti pernah berada di puncak pencapaiannya, entah secara fisik, materi, jabatan atau capaian-capaiannya lainnya. Pada posisi ini, kebanyakan manusia merasa berbangga diri atas capaian-capaian tersebut. Padahal mereka lupa, bahwa capaian yang mereka raih itu adalah hasil dari pemberian Allah swt (dianalogikan sebagai air hujan).
Siapakah yang mengukir wajah manusia ? Siapakah yang memberikan tenaga kepada manusia sehingga manusia bisa produktif ? Siapakah yang memberi petunjuk dan ilmu pengetahuan sehingga manusia bisa memahami apa yang terjadi ?
Semua jawaban itu pasti akan bermuara ke zat yang Maha Awal, yaitu Allah swt. Tetapi … semua itu hanya bersifat sementara. Kecantikan wanita akan mulai memudar di usia 30 tahun, tenaga manusia akan melemah seiring waktu dan pikiran manusia juga tidak akan setajam dan sekreatif ketika masih berada pada puncaknya. Semuanya akan memudar, bahkan pada satu titik, akan hilang dan terlupakan. Banyak dari kita sudah tidak ingat lagi cerita kakek buyut kita, seakan-akan mereka tidak pernah hidup di dunia ini. Apalagi orang lain yang tidak ada kaitannya dengan kita.
… lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin… (QS. Yūnus/10: 24)
Karena bersifat sementara, maka kesenangannyapun akan kita rasakan sedikit sekali. Tidak mungkin manusia bisa menikmati kenikmatan seluruh yang ada di dunia ini. Ketika sudah tua, manusia sudah malas untuk diajak travelling, dimana hal itu berbeda ketika masih muda. Ketika tua manusia sudah mulai menghindari makan-makanan yang enak karena alasan kesehatan. Dan masih banyak lagi kenikmatan-kenikmatan yang sudah tidak dapat dinikmati ketika masa tua.
Dunia adalah kehidupan sedikit
QS. Ar-Ra’d Ayat 26
اَللّٰهُ يَبۡسُطُ الرِّزۡقَ لِمَنۡ يَّشَآءُ وَيَقۡدِرُؕ وَفَرِحُوۡا بِالۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا ؕ وَمَا الۡحَيٰوةُ الدُّنۡيَا فِى الۡاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ
Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.
Allah yang Maha Pemurah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi rezeki siapa yang Dia kehendaki dari hambahamba-Nya. Mereka yang ingkar bergembira ria dengan kebahagian hidup yang mereka peroleh di kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang berlangsung begitu singkat dibanding kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
Allah melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Selain itu, mereka hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu.
Sebaliknya, Allah juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya, sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut.
Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya. Oleh karena itu, ada kalanya Allah menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir.
Sebaliknya, kadang-kadang Allah menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat. Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang saleh ataupun yang fasik.
Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Mekah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar.
Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa. Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu.
Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut:
Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, "Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?" Rasulullah bersabda, "Apalah artinya dunia ini bagiku. Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian ia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu." (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)
**
Kehidupan dunia laksana pengembara berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat meninggalkan pohon itu. Untuk kehidupan sementara pantaskah diperjuangkan mati-matian hingga melupakan akherat?
Perlu pemimpin peduli umat yang senantiasa mengajak taat. Mengarahkan umat untuk beribadah pada Allah, menjalankan aktivitas sesuai aturan Allah. Agar selamat dunia akherat, bisa meraih rida Allah dan surgaNya. Aamiin.
Wallahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini