Oleh : Ane, Ciparay - Kab. Bandung
Kasus penganiayaan sadis berujung pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan intim (kekasih/suami) sebagaimana kasus terkini Ronald yang merupakan anak dari salah satu anggota fraksi partai di DPR RI, yang dengan keji menganiaya kekasihnya hingga menyebabkan korban kehilangan nyawa, bukanlah yang pertama terjadi. Belakangan ini bahkan banyak berita perihal kasus serupa.
Rentetan kasus demi kasus keji yang mengakibatkan nyawa korban perempuan melayang yang terekspos ke media, hanyalah sedikit contoh dari banyaknya kasus.
Terkait hal ini, perilaku keji yang dilakukan pelaku yang notabene berjenis kelamin pria kepada korban (wanita) disebut sebagai bentuk femisida. Femisida sendiri adalah pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya.
Adapun menurut pantauan di media oleh Komnas Perempuan setiap tahunnya selalu terjadi peningkatan kasus. Pada 2018 terjadi kenaikan jumlah kasus hampir tiga kali lipat dibandingkan 2017. Sedangkan data terakhir yakni pada 2022 dilaporkan terjadi 3.950 kasus, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2021. Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani menyebut bahwa femisida atau pembunuhan terhadap perempuan adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan. Sehingga femisida sendiri diklaim berbeda dengan pembunuhan biasa, karena adanya latar belakang relasi kuasa yang mendorong dibunuhnya perempuan akibat identitas gendernya. Sebabnya, pada banyak kasus tampak kepuasan sadistis pihak pelaku terhadap korban, juga adanya ketimpangan relasi kuasa, agresi, serta rasa superioritas terhadap perempuan. Sehingga penegasan kategorisasi femisida dianggap dapat membantu menguatkan tuntutan hukum kepada pelaku kasus penganiayaan yang berujung pembunuhan pada perempuan. Komnas Perempuan juga mengategorikan femisida sebagai sadisme, baik dari motif pembunuhannya, pola-pola pembunuhannya, maupun berbagai dampak terhadap keluarga korban. (tirto.id)
Akan tetapi, perlu di ingat bahwa karakter sistem hukum saat ini cenderung memenangkan yang kuat dan menindas yang lemah. Sejatinya, inilah yang tergambar pada sistem saat ini yakni sekuler kapitalis, nasib perempuan sangat mengenaskan, tidak ada jaminan keamanan yang diberikan negara dalam sistem hari ini. Kategorisasi femisida hanya ibarat semut di hadapan hukum rimba.
Tidak bisa ditampikkan bahwa permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki saat ini melegalkan segala bentuk superioritas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Masalahnya, dalil pembenaran konsep ini dicari- cari dari Al-Qur'an. Ayat yang dimaksud adalah Q.S. An- Nisa ayat 34 perihal kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Upaya para feminisme yang selalu membangun paradigma berpikir bahwa perempuan harus setara dengan laki laki dalam segala hal. Sehingga, ketika melihat ada masalah yang menimpa perempuan, maka langsung mengeklaim bahwa penyebabnya adalah relasi gender yang tidak setara sehingga solusinya adalah meraih kesetaraan tersebut.
Padahal, akar masalah perempuan bukanlah relasi yang tidak setara, tapi karena aturan agama tidak dipakai dalam kehidupan. Upaya seperti ini justru makin menjauhkan makna hakiki ayat tersebut. Terlebih jika relasi antara laki-laki dan perempuan itu bukan pernikahan tetapi suatu hubungan tanpa status alias pacaran, pihak laki-laki biasanya merasa lebih bebas untuk berbuat sadis kepada pasangannya karena ia merasa tidak ada tanggung jawab terhadap relasi tersebut secara hukum syariat.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kategorisasi femisida terhadap kasus penganiayaan dan pembunuhan oleh laki-laki kepada perempuan pasangannya tidak bisa memberikan solusi permasalahan ini dari akarnya.
Dalam Islam, Perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga, Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga kehormatan dan keselamatan Perempuan dari segala bahaya. Mulai dari larangan untuk berkhalwat, larangan berikhtilat jika tidak ada alasan syar'i, serta tidak diizinkannya perempuan bepergian jika tidak ada mahramnya, menjadi suatu penjagaan agar kehormatan perempuan senantiasa terjaga.
Begitu pula dalam memberikan solusi kasus pembunuhan, Islam tidak membedakan pembunuhan berdasarkan apa yang ada di benak seseorang, apakah motifnya karena gender ataukah karena selainnya. Islam hanya melihat apakah pembunuhan itu dilakukan dengan disengaja, ataukah tidak disengaja. Sanksi untuk keduanya tentu berbeda.
Adapun ide feminisme yang lahir dari kapitalisme tentu bertentangan dengan Islam. Sehingga kita sebagai muslim haram mengambilnya, apalagi menerapkannya dalam kehidupan.
Sudah seharusnya, setiap muslim mewaspadai segala upaya masuknya racun feminisme tersebut ke dalam benak umat. Sehingga, menjadi tanggung jawab kita semua membentengi umat dari pemikiran feminisme yang rusak dengan mendakwahkan pemikiran Islam yang shahih, yaitu Islam kaffah.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini