Oleh : Diajeng Tiara Anjani
Tioria Pretty : Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan, kebijakan nasional tidak menyelesaikan masalah struktural di Papua. Banyak agenda yang terkesan sangat dipaksakan walaupun mendapatkan banyak penolakan. Hal itu tercermin dalam gelombang yang dilakukan oleh Orang Asli Papua (OAP), bukan hanya di Papua saja. “Kebijakan pemerintah pusat justru memiliki kecenderungan diarahkan pada akselerasi agenda, khususnya eksploitasi sumber daya alam dan dalih stabilitas keamanan,” kata Pretty.
Menurutnya, pola pengambilan kebijakan selama ini akhirnya berbuah pada kesan sentralistis, elitis, teknokratik, dan birokratis. “Proyek-proyek dengan label NKRI harga mati dan pembangunan untuk kesejahteraan, dipaksakan pemerintah pusat walaupun tak berimplikasi signifikan pada penyelesaian konflik di Papua,” ujar Pretty.
Begitu pula antara Papua dan pulau-pulau lainnya, terutama Jawa, terkait pembangunan yang tidak merata menjadikan Papua seakan provinsi terpinggirkan. Hal ini memunculkan gap dan memicu kekerasan negara, berawal dari agresi militer 1965 yang menimbulkan pelanggaran HAM.
sehingga semakin memicu KKB : Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) selalu berulah, gerakan pro kemerdekaan Papua. OPM pertama kali beraksi di Manokwari pada 26 Juli 1965. Mereka ingin merdeka dari Indonesia dan beranggapan bahwa Indonesia sama saja dengan Belanda pada masa silam. Adriana Elisabeth selaku peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang Papua, menyatakan setidaknya ada empat penyebab konflik ini berlarut-larut. Di antaranya marginalisasi dan diskriminasi. Rakyat Papua merasa diperlakukan sebagai anak tiri dan merasa berbeda dari wilayah lain, seperti kota-kota besar.
Terkait UU Otsus Papua Bab 19 mengatur tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Sayangnya, sudah 17 tahun UU Otsus berjalan, tetap tidak mampu membendung eksploitasi SDA Papua, justru malah makin menggila. Orang Papua sendiri jadi penonton, penikmat terbesar adalah korporasi. Mengapa bisa terjadi?
Problematik Papua
Papua merupakan salah satu wilayah Nusantara yang memiliki kekayaan alam luar biasa terutama dari sektor tambang dan migasnya. Ironisnya, limpahan SDA di Papua ternyata tidak membawa berkah bagi masyarakat setempat. Bahkan, negeri berlimpah kekayaan alamnya ini malah termasuk wilayah termiskin di Indonesia. Padahal, di wilayah ini, tambang emas terbesar di dunia PT Freeport Indonesia berada.
Eksplorasi minyak di Teluk Bintuni dan pembukaan lahan besar besar terkait program MIFEE juga tidak membawa kemajuan yang berarti bagi masyarakat Papua. Berbagai konflik atas pengelolaan SDA di Papua muncul sebagai akibat arogansi negara dan kesewenang-wenangan perusahaan nasional maupun swasta asing dalam mengeksploitasi SDA dan tidak memperhatikan keadilan dalam hal distribusi hasil-hasilnya.
Kemudian terkait munculnya gerakan Papua merdeka, memilliki dugaan bahwa konflik di Papua ini memang sengaja dipelihara. Sebagaimana kita ketahui, Papua merupakan wilayah dengan SDA melimpah. Ironisnya, selama ini, perusahaan-perusahaan asinglah yang bercokol di sana, seperti AS dan Inggris. Agar cengkeraman mereka tidak goyah, tentu mereka harus menjaga kondisi, termasuk kondisi perpolitikan di sana. Walhasil, Australia yang merupakan kepanjangan tangan AS ikut terus menyuarakan isu HAM di Papua dan mendukung kemerdekaan Papua. Jika Papua pisah dari Indonesia, mereka jelas mendapat keuntungan besar. Mereka bisa menguasai kekayaan alam hingga kebijakan politiknya, juga dapat mengontrol Papua sebagai timbal balik pemberian bantuan atas kemerdekaan Papua.
Konflik yang terjadi Hingga periode kedua pemerintahan Jokowi, pemerintah dinilai masih belum bisa menyelesaikan problematik di Papua. Di antaranya seperti yang dinyatakan pihak Kontras tadi bahwasanya pemerintah perlu mengubah pendekatan permasalahan Papua dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan yang lebih humanis karena selama ini pemerintah tidak bisa menyelesaikan problematik struktural di Papua.
Selama ini, pemerintah hanya melakukan pendekatan keamanan dengan berbalut pembangunan infrastruktur. Yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai tidak menyelesaikan problem struktural. Di antaranya masalah eksploitasi SDA, diskriminasi, hingga soal disintegrasi. Pemerintah memang sudah memberikan otoritas khusus bagi Papua, tetapi ternyata problematik Papua ini tidak terselesaikan juga. Masalah Papua dibiarkan berlarut-larut. Tidak ada langkah atau rancangan strategis untuk menyelesaikan masalah ini sampai tuntas.
Selesaikan dengan Islam
Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari kesatuan Indonesia ,dalam Islam memiliki prinsip untuk senantiasa menjaga kesatuan wilayahnya. Pembangunan pun akan dijalankan secara merata di berbagai wilayah kekuasaannya dan Khalifah memperhatikan betul tentang kesejahteraan rakyatnya, per individu dari kebutuhan rakyatnya. Seperti fasilitas-fasilitas publik yang mendukung untuk kualitas hidup dan kualitas kebutuhan, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang gratis.
Dalam Islam, pembangunan akan dijalankan secara merata, bukan berdasarkan pendapatan tiap daerah atau potensi ekonomi tiap daerah. Dalam sistem kapitalisme, jika ada wilayah yang memiliki SDA melimpah, biasanya kondisi penduduknya masih miris dan jauh tertinggal dari kualitas penduduk di wilayah yang notabene bukan penghasil SDA yang memadai.
Dengan demikian, seluruh problematik seperti Papua ini hanya akan bisa diselesaikan tatkala pemerintah menjalankan Islam sebagai sebuah ideologi.
Wallahu 'alam Biashawab.