Oleh: Yeni Rahmansanti
Kasus sengketa lahan yang terjadi di Rempang Riau menambah deretan kasus sengketa lahan antara rakyat dengan korporasi. Kasus ini terjadi karena adanya upaya Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berencana merelokasi penduduk Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa. Relokasi itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang. Rencananya di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini bahkan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat. Rempang Eco City digarap PT Makmur Elok Graha (MEG).(Kompas.com, 13/9/2023)
Jika merunut ke belakang, konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang, jauh sebelum terbentuknya BP Batam. Namun masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Awal mula konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Kala itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha. Praktis, masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut makin pelik. Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang.
Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City. Proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.(Kompas.com, 13/9/2023)
Maraknya Sengketa Lahan Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme-Neoliberalisme
Jika kita telusuri, karut-marut masalah pertanahan di tanah air adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme-neoliberal di negeri ini. Dalam konsep sistem kapitalisme neoliberal, tidak ada kejelasan status kepemilikan lahan. Sistem ini tidak mengatur mana lahan milik individu, umum dan milik negara. Seluruh lahan diklaim milik negara. Sehingga, negara bisa bebas melakukan apa saja termasuk mengalihkan pengelolaannya kepada swasta.
Sementara itu, bagi rakyat sendiri, pemerintah menetapkan status kepemilikan tanah harus berdasarkan legalitas formal (sertifikat). Yang dalam proses pembuatannya tidak jarang rakyat harus berhadapan dengan proses berbelit dan aparat curang yang memanipulasi sertifikat tersebut. Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mengungkapkan, praktik mafia sertifikat tanah kian marak di negeri ini, akibat dari adanya keterlibatan oknum pemerintahan, seperti lurah, camat, bahkan BPN (Badan Pertanahan Nasional). (Kompas.com, 12/3/2021)
Dalam sistem ini, negara dan penguasa kehilangan fungsinya sebagai penanggung jawab rakyat. Hal ini karena dalam sistem kapitalisme, negara dan penguasa hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan kepentingan para korporat. Meskipun taruhannya mengorbankan rakyat. Karena itulah, maka tidak heran seringkali kita dapati kebijakan pemerintah lebih cenderung berpihak pada korporasi ketimbang rakyat. Bahkan, ketika terjadi konflik antara rakyat dan korporasi, yang kerap dimenangkan pemerintah adalah korporasi karena merupakan pihak yang lebih kuat. Inilah yang membuat para korporat semakin arogan dan berani menghalalkan segala macam cara demi mendominasi kekuasaan.
Islam Solusi Sengketa Lahan
Sejatinya, untuk menyelesaikan masalah sengketa lahan yang terjadi di negeri ini, dibutuhkan solusi dan konsep mendasar yang berasal dari sistem yang kuat. Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam (khilafah). Hal ini karena, sistem Islam (khilafah) adalah sistem kokoh, yang bersumber dari wahyu Allah, di mana terpancar darinya seperangkat aturan mengenai kehidupan. Sejarah mencatat, dalam kurun waktu hampir 14 abad, Islam beserta aturannya telah teruji kemampuannya menyelesaikan seluruh problematika kehidupan, termasuk dalam hal sengketa lahan.
Untuk mengatasi dan mengakhiri sengketa lahan, negara khilafah akan mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai dengan syariat. Dalam pandangan Islam, status kepemilikan lahan dibagi menjadi 3 bagian. Pertama; lahan milik individu yang berupa lahan pertanian, ladang, kebun, dan lain sebagainya. Kedua; lahan milik umum (lahan yang di dalamnya terdapat harta milik umum yang tidak boleh dikuasakan kepada swasta/korporasi) seperti tambang, hutan, dan lain sebagainya. Ketiga; lahan milik negara (lahan yang tidak berpemilik yang di dalamnya terdapat harta/bangunan milik negara).
Berdasarkan pembagian tersebut, maka negara khilafah tidak akan memperbolehkan individu manapun menguasai lahan sesuka hati mereka. Yang demikian karena kepemilikan lahan dalam Islam, harus berjalan sesuai pengelolaannya.
Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan Negara Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw. misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin al-Harits al-Mazani.
Syariah Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Nabi saw. bersabda:
Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani).
Namun demikian syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijma Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan),” (Abu Yusuf, Al-Kharâj, 1/77, Maktabah Syamilah).
Imam Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwâl meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin al-Harits al-Mazani. Sebelumnya lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah saw. Namun, Khalifah Umar ra. melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau memerintahkan agar Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 328, Maktabah Syamilah).
Dengan demikian, hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat.
Sungguh hanya dengan penerapan syariat Islam melalui institusi khilafahlah yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya. Dengan penerapan syariah Islam, Allah Swt. pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia.