Oleh: Wiratmi Anitasari, S.Pd
Akhir-akhir ini kasus kebakaran hutan dan lahan semakin sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan dari tahun ke tahun selalu terjadi berulang dan hampir merata di semua wilayah kawasan hutan dan lahan, apalagi pada musim kemarau seperti sekarang ini.
Menurut Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ully Artha Siagian menyampaikan bahwa kejadian karhutla di Kalimantan yang terus terulang karena pemerintah tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA).
Dikatakan beliau, “Karhutla ini kejadian yang terus menerus mengulang, akar persoalannya adalah salah urusnya negara dalam konteks pengelolaan sumber-sumber kehidupan/ Sumber Daya Alam,” ujar Ully Artha kepada Tempo pada Ahad, 20 Agustus 2023.
Upaya untuk menghentikan kebakaaran yang terjadi di Kalimantan sudah dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan. Tim Pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan, sudah menyegel empat lokasi titik kebakaran hutan dan lahan. (www.tirto.id , 18 September 2023)
Kasus kebakaran hutan dan lahan saat ini bukan hanya dipicu oleh musim kemarau saja. Baru-baru ini beberapa lokasi kebakaran di beberapa tempat karen faktor sengaja maupun faktor kelalaian dan ketidaksengajaan. Kasus kebakaran yang baru-baru ini terjadi di kawasan Bromo akibat melakukan foto prewedding dengan menyalakan flare sehingga kurang lebih 500 hektar lahan terbakar.
Selain itu banyak lahan dan hutan yang sengaja dibakar untuk membuka lahan baru dalam rangka kebutuhan industri dan proyek-proyek besar para pengusaha dan pemegang izin memakai lahan pemerintah. Pembakaran hutan ini sengaja dilakukan para pengusaha karena dianggap hemat dari segi ekonomi, namun berbahaya bagi lingkungan.
Di kutip dari BBC News Indonesia, 8 September 2023, sejumlah kota di Indonesia diselimuti kabut asap yang meningkat cukup signifikan akibat dari kebakaran hutan dan lahan, bahkan bisa menyebabkan kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang terus meningkat jumlahnya. Bahkan kualitas udara di kota Palembang dan Jambi memburuk sampai pada level “tidak sehat” hingga Kamis (7/9).
Kondisi yang ditimbulkan akibat kebakaran butan dan lahan ini tentu saja mempunyai pengaruh yang sangat besar bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada ekosistem lingkungan. Jika ekosistem lingkungan rusak, ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup lainnya termasuk manusia, karena manusia sangat tergantung dengan lingkungan.
Namun upaya untuk mengatasi persoalan ini masih bersifat parsial, tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Hal ini terbukti dari masih berulangnya kasus-kasus kebakaran hutan yang jumlahnya semakin bertambah setiap tahunnya. Pemerintah seolah-olah tidak belajar dari kasus-kasus yang terjadi sebelumnya.
Banyaknya kasus yang selalu berulang menunjukkan masih lemahnya penanganan kasus pembakaran hutan. Hukum yang mengatur tentang kebakaran hutan kurang tegas dalam menindak para pelaku. Pelaku kerusakan dan pembakaran hutan justru para pengusaha dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai ijin hak pengelolaan hutan.
Hal ini sangat wajar terjadi di negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam sistem kapitalis yang berasas manfaat, dalam pengaturan sumber daya alam mementingkan keuntungan sesaat saja. Terlihat dengan pemberian hak konsesi lahan kepada pihak swasta.
Undang-undang yang menjerat para pelaku pembakaran hutan juga tidak diterapkan dengan tegas. Usaha-usaha berupa seruan dan himbauan saja, tentu saja tidak cukup dan tidak pas untuk menghentikan kasus kebakaran hutan dan lahan. Bahkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, justru yang bertanggungjawab untuk memadamkannya adalah negara, justru tidak ada sanksi yang tegas yang dibebankan kepada para pelaku kebakaran hutan.
Sistem kapitalis sekuler yang berasal dari pemikiran manusia tentu saja tidak akan pernah dapat menyelesaikan persoalan manusia secara tuntas dan adil. Sistem sekuler kapitalis tidak menggunakan rambu-rambu dan aturan Allah yang jelas-jelas sebagai Zat yang menciptakan alam semesta dan seisinya. Maka wajar jika kerusakan di bumi semakin menjadi-jadi karena semakin jauhnya penerapan aturan Allah SWT dalam segala aspek kehidupan.
Sangat berbeda dengan sistem pengaturan Islam yang hukum dan seluruh aturannya bersumber dari Allah SWT. Dalam Islam hutan merupakan sumber daya alam yang sangat luar biasa dan tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun sekelompok golongan tertentu. Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput & api. Dan harganya adalah haram. Abu Sa’id berkata, Yang dimaksud adl air yang mengalir”. [HR. ibnumajah No.2463].
Hanya negara saja yang berhak mengelola dan menjaga kelestarian hutan dan seluruh isinya untuk dikembalikan lagi dalam bentuk kemaslahatan umat. Kekayaan hutan haram diserahkan pengelolaannya kepada individu atau segolongan orang saja, apalagi diserahkan pengelolannya kepada pihak asing.
Selain pengaturan kepemilikan/ pengelolaan hutan, Islam juga menerapkan sanksi yang tegas kepada para pelaku yang melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh negara tanpa pandang bulu. Hukuman bagi yang melanggar diterapkan dengan tegas hingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya.
Pengaturan Islam yang terperinci dan menyeluruh mampu menumbuhkan kesadaran umat untuk selalu menjaga kelestarian hutan dan lingkungan seiring penerapan hukumannya yang tegas menjadikan efek yang jera bagi siapa saja yang mencoba untuk melanggarnya.
Penanganan Islam yang tuntas tidak mungkin bisa diterapkan pada negara yang bersandar pada sistem kapitalis sekuler. Pengaturan sesuai aturan Allah hanya bisa diterapkan dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Maka hanya dengan tatanan kehidupan bernegara yang menggunakan Alqur’an dan Assunnah sebagai pedoman bernegara yang mampu mengatasi segala permasalahan kebakaran hutan dan masalah-masalah lainnya di muka bumi ini.
Wallahu a’lam bish-showab