Oleh : Ummu Salman
Kembali dugaan korupsi terjadi di jajaran Menteri. Semua menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanyalah ilusi. Pembentukan KPK nyatanya tak mampu menghentikan laju korupsi. Apalagi dengan adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di lembaga anti riswah ini.
Dilansir dari www.bbc.com, Sabtu ( 7/10/2023 ) Syahrul Yasin Limpo merupakan menteri keenam era pemerintahan Jokowi yang terseret kasus dugaan korupsi.
Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri keenam pada era pemerintahan Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi. Para pegiat anti-korupsi menilai tren perkara korupsi di kalangan menteri terjadi karena pengawasan presiden yang lemah terhadap para bawahannya. Lantas bisakah perubahan terjadi sebelum kepemimpinan Jokowi berakhir.
Munculnya kasus dugaan patgulipat di kalangan menteri, menurut peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Kurniawan, tidak saja menunjukkan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tapi tidak adanya perubahaan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.
"Sebagian besar kasus yang menjerat menteri terungkap bukan karena pengawasan internal oleh presiden, tapi laporan eksternal dari penegak hukum," ujar Yuris via telepon, Jumat (06/10).
Hingga berita ini diturunkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mempublikasikan secara rinci detail kasus yang diduga melibatkan Syahrul Yasin Limpo. Dalam beberapa hari terakhir, KPK menggeledah rumah dinas Syahrul dan beberapa pejabat di kementeriannya.
KPK menyebut telah mendengarkan setidaknya keterangan 49 pejabat Kementerian Pertanian terkait perkara ini. Meski status Syahrul dalam kasus ini belum terang-benderang, dia telah mengundurkan diri dari kursi menteri.
Selain Syahrul, menteri lain yang terjerat kasus korupsi selama dua periode pemerintahan Jokowi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johnny G. Plate.
Seluruh nama itu telah divonis bersalah, kecuali Johnny yang masih menjalani proses pengadilan dalam perkara suap proyek infrastruktur telekomunikasi.
Bahkan ada dua menteri yang namanya juga disebut dalam penyidikan kasus korupsi yaitu Budi Karya Sumadi dan Dito Ariotedjo.
Juli lalu, Budi diperiksa KPK sebagai saksi terkait dugaan suap pada pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di sejumlah daerah. Budi dimintai keterangan untuk penyidikan terhadap salah satu tersangka, yakni Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah (non-aktif) Putu Sumarjaya. Total ada 10 tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus suap yang diperkirakan mencapai Rp14,5 miliar itu.
Sementara itu, Dito disebut terlibat dalam persidangan kasus korupsi yang menjerat Johnny G. Plate. Dito telah diperiksa Kejaksaan Agung pada Juli lalu. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta Dito memberikan keterangan sebagai saksi kasus proyek infrastruktur di Kementerian Komunikasi dan Informatika pada pada 11 Oktober mendatang.
Berderetnya sejumlah nama pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi, menggambarkan betapa lemahnya penanganan kasus korupsi di negeri ini, Cita-cita untuk mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi, hanya sebatas angan dan ilusi, yang kesemuanya itu mustahil akan terjadi.
Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia dikarenakan problem ini sudah bukan lagi bersifat personal atau individual, tetapi sudah sistemis. Meskipun diopinikan bahwa pelakunya adalah oknum, namun jika dikumpulkan maka akan memenuhi satu stadion bahkan lebih.
Budaya kongkalikong dan korupsi berjamaah dengan slogan, "Keadilan korupsi bagi seluruh anggotanya", sudah mengakar kuat di seluruh jajaran pegawai pemerintah. Mulai dari jajaran Menteri hingga kebawah sampai jajaran Kepala Desa dan bawahannya. Sehingga mereka akan saling menutupi kasus korupsi antara satu sama lain, karena jika satu pihak terseret maka akan menyeret banyak pihak. Sehingga pihak-pihak yang terlibat korupsi ini, akan terus berusaha saling menutupi kebobrokan satu sama lain.
Selain itu, kasus korupsi bisa demikian masif karena ada faktor pendorong dan ada faktor kesempatan. Saat ini, kehidupan masyarakat dan negara begitu hedonis dan sekuler, sehingga yang ada di otak para pejabat dan aparat negara hanya uang dan uang. Persaingan gengsi nyang begitu ketat, pamer harta dan kekayaan telah menjadikan mereka gelap mata, tak ingat lagi akan adanya hari hisab dan azab neraka. Sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk memperkaya diri, salah satunya dengan cara haram yaitu korupsi.
Uang negara yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, justru mereka ambil untuk memperkaya diri sendiri. Demi gaya hdup yang hedonis serta mengumbar eksistensi diri.
Di samping itu, biaya politik demokrasi yang mahal dan tinggi, menyebabkan para calon penguasa harus mengeluarkan dana yang besar untuk memenangkan kontestasi. Sehingga ketika mereka telah berkuasa, mereka akan memutar otak bagaimana caranya untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan saat pencalonan. Mereka juga akan membuat aturan dan kebijakan pesanan dari para cukong yang telah mendanai mereka saat kontestasi politik.
Adapun faktor kesempatan terwujud karena lemahnya hukum di Indonesia. Kurangnya pengawasan dari pihak berwajib, budaya kongkalikong dan patgulipat, menjadi pemicu kesempatan korupsi berjamaah. Banyak pula koruptor yang dapat melenggang dengan bebas karena dapat membeli hukum. Adapun koruptor yang tertangkap dan di tahan di hotel prodeo, mereka tidak akan bertobat karena tidak akan merasa jera. Mereka bebas beraktivitas dan mendapatkan fasilitas mewah layaknya hotel berbintang. Alhasil, sistem demokrasi sekuler merupakan penyebab maraknya korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, sistem ini harus diganti dengan sistem Islam yang sahih.
Islam akan mampu memberikan solusi untuk memberantas korupsi. Dari sisi asas kehidupan, Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan perbuatan kaum muslim. Karena akidah Islam akan selalu mengaitkan kehidupan di dunia tempat manusia tinggal sekarang, dengan kehidupan sebelum dunia, dan kehidupan setelah dunia. Yang mana di kehidupan setelah ini akan ada pembalasan atas setiap perbuatan manusia di dunia. Tujuan hidup umat Islam bukanlah mengumpulkan materi atau kekayaan, tetapi tujuan tertinggi umat Islam adalah meraih rida Allah Ta'ala. Dengan demikian, dorongan keimanan inilah perilaku korupsi bisa diminimalisir.
Kejujuran dan sikap amanah, serta merasa selalu diawasi Allah Ta'ala, yang merupakan bagian dari ketakwaan, akan menjadikan sebuah kontrol internal untuk menghindari korupsi, yang terkategori ghulul, karena ghulul merupakan perkara yang diharamkan berdasarkan firman Allah Taala dalam QS Ali Imran: 161.
“Siapa yang berbuat ghulul, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu.”
Menurut An-Nasafi, orang disebut berbuat ghulul apabila mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi. Dengan demikian, segala macam bentuk pengambilan dan penyelewengan harta, baik itu mencuri, korupsi, money laundry, suap, gratifikasi, dan manipulasi termasuk perbuatan ghulul.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah ia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, ia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” (HR Muslim no. 3415; Abu Dawud no. 3110).
Selain kontrol internal berupa ketakwaan individu, kontrol eksternal juga diberlakukan. Negara Khilafah akan mengaudit harta kekayaan pejabat dan pegawainya sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan asal kenaikan hartanya.
Jika tidak mampu membuktikan, harta tersebut akan disita negara.
Adapun pejabat tersebut akan mendapatkan hukuman, baik berupa pemberhentian dari jabatan maupun sanksi yang menjerakan. Sanksi korupsi terkategori takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh Khalifah atau Qadhi. Sanksi tersebut harus adil dan menjerakan, bisa berupa penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati. Selain itu, pelaku korupsi akan disiarkan kepada publik melalui media massa sehingga menjadi sanksi sosial dan sekaligus mencegah orang lain berbuat serupa.
Dengan solusi Islam tersebut, pemberantasan korupsi akan berjalan efektif. Terwujudnya negara yang bersih dari korupsi bukan lagi ilusi, tetapi akan benar-benar terjadi secara nyata.
Wallahu alam bish-shawab.
Tags
Opini