Oleh : Sri Rahayu (Pegiat Literasi)
Seakan telah membudaya, pemberantasan kasus korupsi di Indonesia begitu sulit dilakukan. Penetapan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dalam kasus dugaan korupsi di Kementrian Pertanian (Kementan) menambah pajang deretan dugaan korupsi yang terjadi di jajaran menteri. Beberapa menteri Era Predisen Jokowi yang juga masuk dalam pusaran korupsi diantaranya adalah mantan Manteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate yang didakwa telah merugikan keuangan Negara lebih dari 8 triliun terkait kasus dugaan korupsi penyedia infrastruktur BTS 4G. Julian Batubara, mantan menteri sosial juga menjadi terdakwa kasus korupsi terhadap dana bansos Covid-19 yang terbukti menerima uang sebesar 32,4 miliar rupiah. Begitu juga, mantan meteri kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun dan denda 400 juta rupiah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Jakarta Pusat karena melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap terkait izin budidaya dan izin ekspor benih Lobster di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) (liputan6.com, 08/10/2023).
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi hingga menyentuh jajaran para menteri menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan dalam sistem saat ini.
Sistem Demokrasi Sekuler
Habitat subur tumbuhnya korupsi
Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah ini meningkat 8,63% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 533 kasus. Rinciannya ,138 kasus korupsi dengan 307 tersangka ditangani Polri dan 36 kasus dengan 150 tersangka ditangani oleh KPK.
Dari data yang ada, korupsi paling banyak terjadi di sektor desa yakni 155 kasus. Jumlah ini setara dengan 26,77 % dari total kasus yang ditangani penegak hukum. Selain itu, korupsi juga banyak terjadi di sektor utilitas, yaitu 88 kasus. Setelahnya ada di sektor pemerintahan dengan 54 kasus korupsi, disusul 40 kasus disektor pendidikan dan sebanyak 35 kasus di sektor sumber daya alam dan perbankan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, namum sampai saat ini belum juga berhasil mencegah dan menuntaskan masalah korupsi. Pembentukan lembaga pemberantasan korupsi, KPK nyatanya tak mampu menghentikan laju korupsi di negeri ini. Jumlah kasus korupsi kian meningkat setiap tahunnya. Terlebih lagi, tindakan pelanggran justru terjadi di lembaga pemberantas riswah tersebut.
Kondisi ini sebenarnya wajar terjadi, karena pemberantasan korupsi saat ini dibangun di atas pondasi rapuh. Kehidupan yang jauh dari agama mejadikan para aparatur negara minim rasa takut kepada Allah SWT. yang tanpa rasa bersalah telah menyelewengkan uang rakyat. Selain itu, sistem demokrasi juga menciptakan mekanisme politik high cost, akibatnya kekuasaan dimanfaatkan sebagai kesempatan mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan sebelumnya. Sistem demokrasi sekuler pada akhirnya menjadi habitat subur tumbuhnya korupsi. Diperparah dengan tidak adanya sanksi yang membuat efek jera para koruptor menjadikan upaya pemberantasan korupsi hanya ilusi semata. Olehnya itu, perlu ada sebuah sistem mumpuni yang mampu menyelesaikan persoalan korupsi hingga ke akar-akarnya.
Cara Islam Tuntaskan Korupsi
Hendaknya pemberantasan korupsi dimulai dari pembentukan sistem yang benar, yakni di atas pondasi kokoh keimanan kepada Allah SWT. Islam mengharamkan segala jenis penyelewangan uang rakyat dan Negara. Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa korupsi adalah tindakan kriminal.
Dalam pandangan syariah korupsi tidak sama dengan mencuri, maka kejahatan korupsi tidak masuk dalam kategori hudud. Melainkan masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim tergantung pada tingakat kejahatan penyelewengannya.
Beberapa mekanisme Islam yang diterapkan oleh Negara dalam mencegah dan menyelesaikan kasus korupsi adalah sebagai berikut. Pertama, Negara akan memberikan gaji yang layak dan memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka akan cukup memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier. Kedua, Islam dalam mekanisme pengangkatan aparatur Negara, menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain profesionalitas. Dengan begitu, aparat yang terpilih adalah yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Faktor akidah dan ketakwaan inilah yang terbukti menjadi self control, yang menjadikan aparatur Negara tidak berani dan tidak bisa melakukan korupsi atau menerima suap karena sadar diri akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas amanah yang mereka emban.
Ketiga, Negara menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak. Jika ada pertambahan harta yang tidak masuk akal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan maka Negara bisa menyitanya. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, selain perhitungan terbalik, Beliau juga pernah mengangkat pengawas khusus, yaitu Muahammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Keempat, Negara menerapkan hukuman yang tegas yang akan memerikan efek jera dan efek pencegahan. Saksi korupsi bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara Islam mencegah dan menyelesaiakn kasus korupsi. Jika ini diterapkan, insya Allah pencegahan dan pemberantasan korupsi bisa dilakukan bahkan sejak dini.