Benarkah Jualan di Tik Tok Merugikan UMKM?




Oleh: Tri S, S.Si


Setelah menuai banyak polemik, TikTok Shop akhirnya resmi dilarang beroperasi di Indonesia. TikTok Shop dilarang beroperasi sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan ini menegaskan bahwa Social Commerce tidak boleh melakukan transaksi jual beli langsung di platform, termasuk TikTok Shop (Tribun.co, 11/10/2023).


Sederet pedagang pengguna tik tok shop mengeluhkan kekecewaan mereka lewat sosial media. Ada yang mengatakan bahwa mereka merugi setelah tik tok shop di tutup, bahkan ada yang dengan nada marah mengungkapkan bahwa jadi pedagang harus mengikuti zaman, karena faktanya banyak sekali pasar-pasar offline yang tutup karena sepi pembeli. Ya, memang demikian ketika pembeli memilih berbelanja dengan online, bisa menghemat waktu dan tenaga. Bagaimana tidak? Hanya dengan melalui ponsel sambil rebahan, maka tidak repot untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidup. 


Namun yang menjadi akar masalah disini adalah penurunan daya beli masyarakat yang menjadi faktor dominan dalam lesunya perekonomian, termasuk sepinya Pasar. Maka dari sini seharusnya  pemerintah berfokus pada cara untuk menaikkan daya beli masyarakat sebab mayoritas pelaku usaha, baik offline maupun online, adalah UMKM.


Upah pekerja yang rendah tentu sangat memengaruhi daya beli. Masyarakat akan menahan uangnya untuk hanya berbelanja keperluan pokoknya. Sedang keperluan yang tidak terlalu penting enggan untuk di beli. Inilah kita yang ada di sistem kapitalis yang menjadikan aturan jauh dari kesejahteraan rakyat.


Dalam kenyataannya, banyak faktor yang memengaruhi aktivitas perdagangan saat ini, termasuk dominasi pedagang bermodal besar yang dapat menciptakan monopoli dan pengaruh Tiktok Shop yang dapat mengganggu mekanisme pasar yang sehat. Tiktok Shop dapat menjual barang di bawah harga normal, bahkan di bawah biaya produksi. Dalam Islam, ini disebut sebagai "Ghabn Fahisy," yang merupakan bentuk penipuan yang dapat menghancurkan pesaingnya di pasar. Tiktok Shop memberikan subsidi besar untuk menurunkan harga pasar dengan tujuan mengusir pedagang lain, sehingga mereka kehilangan pesaing. Pasar digital semakin rumit dengan peraturan perpajakan yang berbasis pada perusahaan fisik. 


Semua masalah ini berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalis yang berfokus pada pajak dan utang. Perbedaannya dengan perdagangan yang diatur oleh syariah Islam adalah bahwa Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Islam membedakan antara penataan pasar makro di dalam negeri dan penataan pasar internasional. Negara dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur pasar. 


Perdagangan yang adil telah diperintahkan oleh syariah berdasarkan ayat 29 Surah An-Nisa dalam Al-Quran. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil atau tidak benar, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu." 
 

Negara dalam Islam berperan sebagai pelayan rakyat, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW. Negara adalah pengurus rakyat, dan ia akan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, negara akan menciptakan pasar yang sehat di mana harga ditentukan oleh kekuatan pasokan dan permintaan, dan semua unsur yang merusak pasokan dan permintaan harus dihilangkan oleh negara. Islam telah mengatur perdagangan melalui peran negara, termasuk pengawasan dan pelarangan praktik-praktik yang merugikan dalam perdagangan. Negara dalam Islam melarang praktik-praktik seperti ihtikar (menimbun barang), operasi pasar, dan pungutan pajak yang merugikan. Ini bertujuan agar pasar benar-benar ditentukan oleh permintaan dan penawaran.


Pengontrolan terhadap penjual dan pembeli dilakukan oleh khilafah (negara Islam) dengan tujuan agar semua aktivitas jual beli sesuai dengan syariah Islam. Pada dasarnya, marketplace dalam Islam diperbolehkan, asalkan diatur dengan baik sebagai pasar penyedia lapak. Jika penyedia marketplace menyediakan tempat untuk berjualan, maka harus ada akad ijarah atau akad sewa lapak, yang melibatkan kompensasi yang pasti untuk penyedia marketplace. 


Komisi yang diterima oleh penyedia marketplace harus jelas dan tidak boleh berdasarkan persentase hasil penjualan, karena itu dianggap sebagai akad yang fasit. Semua aturan ini hanya dapat diimplementasikan dalam khilafah Islam yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang adil.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak