Ditulis oleh: Sri Wahyu Anggraini S.Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Sungguh miris dan kembali terjadi ribuan buruh industri pabrik tekstil dilaporkan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), Ristadi mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang mencatat sepanjang tahun 2022 ada PHK sebanyak 345.000 pekerja di industri TPT nasional. Dan, katanya, per Agustus 2023, ada 26.540 pekerja yang dirumahkan mengarah PHK. Terjadinya PHK disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tidak mampunya bertahan ditengah serbuan produk impor dan anjloknya kinerja ekspor. (Cnbcindonesia.com/06/10/2023)
Fenomena PHK yang tidak henti di negeri ini sejatinya terjadi karena lepas dan abainya tanggung jawab negara dalam menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang menyerahkan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat kepada pihak swasta. Padahal sampai kapanpun pihak swasta tidak akan mampu menjamin hal tersebut, sebab pihak swasta hanya berorientasi untung dalam menjalankan bisnisnya. Jika mereka harus memangkas karyawan untuk menyelamatkan perusahaannya maka hal tersebut akan dilakukannya alhasil rakyat akan terus dihantui PHK yang berujung pada ketidakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan asasiyahnya.
Apalagi sebagian besar industri dalam sistem kapitalisme dibangun di atas sistem sektor non rill, semua permodalannya berbasis pada saham, bursa efek dan ribawi.
Sektor non rill ini tumbuh dengan pesat bahkan nilai transaksinya sangat cepat bahkan bisa mencapai 10 kali lipat dari sektor riil. pertumbuhan uang beredar pun akan jauh lebih cepat dari sektor riil, hal ini akan mendorong terjadinya inflasi dan penggelembungan harga aset. Sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor riil. Kebangkrutan perusahaan dan PHK pun tak terhindarkan, hal ini diperparah dengan kebijakan perdagangan yang menyebabkan derasnya arus impor berbagai jenis barang di negeri ini, termasuk tekstil. Dimana produk industri dalam negeri harus bersaing dengan produk luar negeri, proses impor pun semakin dipermudah oleh negeri bahkan bebas hambatan, dan dukungan negara.
Maka untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif masih sangat minim, sementara sangat dipahami bahwa sebagian pengusaha lokal tidak bermodal besar, seperti pengusaha asing.
Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkan pengusaha lokal tidak akan mampu bersaing dengan produk impor selama sistem ekonomi kapitalisme dijadikan standar mengatur perekonomian di negeri ini. Maka rapor merah perekonomian akan terus terjadi, salah satunya nasib PHK yang berujung pada tingginya angka pengangguran. Tentunya hal ini akan senantiasa terjadi dalam sistem kapitalisme, krisis ekonomi akan terus terjadi secara berkala yang mengakibatkan rakyat sengsara
Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda dengan kondisi pada Daulah Islam, dimana pengayaan atau pengurusan ekonomi berada ditangan Khilafah. Dalam skala makro Khilafah akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menjaga stabilitas ekonomi dengan menerapkan undang-undang larangan praktik ribawi, penerapan moneter emas dan perak, dan kebijakan fiskal berbasis Syariah. Dengan stabilnya iklim usaha maka produksi berjalan baik sehingga berefek pada serapan tenaga kerja yang berjalan masif.
Dalam Islam laki-laki diharamkan menganggur apalagi bermalas-malasan,Karena itulah negara Khilafah Islam menjalankan strategi jitu dengan turun langsung memastikan hal tersebut. Negara Khilafah juga memiliki proyek-proyek pengelolaan kepemilikan umum antara lain, sumber daya alam yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dalam pandangan ekonomi Islam kepemilikan umum adalah hak rakyat yang haram hukumnya di privatisasi atau dikelola oleh korporasi. Sehingga sumber daya alam dalam deposit melimpah. Negaralah yang bertanggung jawab mengelolanya dan mengeluarkan keuntungannya kepada seluruh rakyat.
Dengan konsep ini Negara Khilafah akan memiliki perusahaan dalam jumlah yang banyak dan besar sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan warga negaranya. Negara Khilafah juga akan bertanggung jawab dan bertumpu pada industri berat dan strategis. Dengan adanya strategi yang seperti ini akan mendorong pertumbuhan industri-industri lainnya seperti industri konsumsi atau logistik, termasuk didalamnya industri tekstil yang merupakan kebutuhan sandang masyarakat yang akan didukung produksinya oleh negara melalui sistem keuangan Baitul Mal, Khilafah akan turun tangan memberi bantuan modal tanpa riba atau bahkan memberikan hibah kepada individu usia produktif yang ingin membuka usaha termasuk di bidang tekstil, sehingga individu tersebut memiliki akses ke pergerakan ekonomi.
Khilafah tidak akan mudah mengeluarkan kebijakan impor apalagi kebijakan impor ini menjadikan negara Khilafah bergantung pada negara lain. Khilafah akan memaksimalkan sektor ekonomi riil dan melarang sektor ekonomi non rill, seperti perbankan, obligasi, saham dan sejenisnya sehingga atmosfer bisnis dalam negeri akan sehat dan laju perputaran ekonomi sebagaimana pastinya.
Demikianlah mekanisme Khilafah dalam membangun iklim usaha yang kondusif sehingga mampu meminimalisir pengangguran akibat PHK
Wallahu A'lam Bishshawab
Tags
Opini