Oleh. Lilik Yani
Masihkah berani berbuat maksiat baik dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, sementara Allah senantiasa menyaksikan?
Sungguh manusia itu tak ada ketakutan. Sengaja berbuat maksiat meski sudah dilarang. Tak lagi manfaat sebuah peringatan. Tak takutkah ketika di akherat diminta pertanggungjawaban?
Dilansir dari Detik.com - KPK kembali melakukan penahanan tersangka kasus korupsi penyaluran beras bansos di Kementerian Sosial (Kemensos) periode 2020-2021. Dua orang tersangka itu langsung ditahan KPK hari ini.
Dua tersangka yang ditahan itu bernama Budi Susanto (BS) selaku Direktur Komersial PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) periode 2018-2022 dan April Churniawan (AC) selaku Vice President Operasional PT BGR periode 2018-2021. Keduanya ditahan selama 20 hari pertama di Rutan KPK. (15/9/2023)
KOMPAS.com - Ketua Umum Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Zudan Arif Fakhrullah mengakui ada sejumlah aduan yang masuk terkait perselingkuhan aparatur sipil negara (ASN). Tetapi, kata Zudan, jumlah aduan tersebut tidak banyak. "Memang beberapa ada (aduan) masuk di Korpri juga laporan-laporan, tetapi datanya enggak banyak karena biasanya yang seperti ini diselesaikan secara formal ya," ujar Zudan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Kemaksiatan yang Disembunyikan
Beragam cara manusia bermaksiat. Sebahagian orang melakukannya secara terang-terangan, sebahagian yang lain dengan cara tersembunyi. Misalnya, dengan cara menciptakan aturan-aturan sedemikian rupa hingga dianggap sah atau legal, padahal isi yang sebenarnya untuk memperturutkan hawa nafsu sendiri.
Maksiat tersembunyi bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk juga oleh orang-orang pintar atau yang sedang berkuasa. Rahmat Allah dalam bentuk kepintaran atau kesempatan untuk berkuasa digunakan untuk bermaksiat kepada Allah dengan cara tersembunyi.
Padahal cara demikian hanya tersembunyi dari pandangan manusia, tetapi sesungguhnya sangat jelas dalam pandangan Allah. Hal itu dipertegas dalam Alquran bahwa Allah mengetahui apa saja yang dilakukan hambanya.
Dengan demikian, melakukan maksiat tersembunyi bukan hanya berdosa karena menipu manusia, tetapi juga mengabaikan Allah dan menuhankan hawa nafsu. Dalam skala prioritas, hawa nafsu lebih diutamakan ketimbang yang lain.
Di samping itu, hasil kerja dari maksiat (tersembunyi) tidak akan berkah, sehingga tak baik untuk dimakan atau disedekahkan. Tak ada pahala sedekah dari harta hasil maksiat. Juga, daging yang tumbuh dari harta haram sudah ditetapkan sebagai mangsanya api neraka. Dengan demikian, setiap diri kita sepantasnya senantiasa berusaha untuk tidak iri terhadap harta yang banyak yang dihasilkan dari maksiat, termasuk maksiat tersembunyi.
Maksiat Terang-terangan
Dari Salim bin Abdullah, dia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah RA bercerita bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa).
Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut.” (H.R. Bukhari).
Dari hadis di atas terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil sebagai bekal dalam menjalani kehidupan agar selalu dalam kebaikan.
Seorang yang menampakkan maksiatnya dan menceritakannya dan ia telah meremehkan hak Allah SWT. Pelaku perbuatan mujaharah menyebabkan Allah SWT marah terhadapnya.
Ibnu hajar RA dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan bahwa barang siapa yang berkeinginan untuk menampakkan kemaksiatan dan menceritakan perbuatan maksiat tersebut, maka dia telah menyebabkan Rabb-nya marah kepadanya sehingga Dia tidak menutupi aibnya tersebut. Dan barang siapa yang berkeinginan untuk menutupi perbuatan maksiatnya tersebut karena malu terhadap Rabb-nya dan manusia, maka Allah akan memberikan penutup yang akan menutupi aibnya itu. (Lihat Nadhratun Na’im).
Pelaku perbuatan mujaharah ini telah mengharamkan bagi dirinya sendiri ampunan Allah SWT. Manusia akan merendahkan pelaku perbuatan mujaharah ini dan meninggalkannya.
Allah Menjadi Saksi di Setiap Kejadian
QS. Yunus Ayat 61
وَمَا تَكُوۡنُ فِىۡ شَاۡنٍ وَّمَا تَتۡلُوۡا مِنۡهُ مِنۡ قُرۡاٰنٍ وَّلَا تَعۡمَلُوۡنَ مِنۡ عَمَلٍ اِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُوۡدًا اِذۡ تُفِيۡضُوۡنَ فِيۡهِؕ وَمَا يَعۡزُبُ عَنۡ رَّبِّكَ مِنۡ مِّثۡقَالِ ذَرَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ وَلَا فِى السَّمَآءِ وَلَاۤ اَصۡغَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ وَلَاۤ اَكۡبَرَ اِلَّا فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ
Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Setelah dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwa kebanyakan manusia tidak pandai bersyukur, lalu dalam ayat ini ditegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia selalu berada dalam pengawasan Allah.
Dan tidaklah engkau Muhammad berada dalam suatu urusan apapun, baik duniawi maupun ukhrawi, dan kamu tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an, baik yang panjang maupun yang pendek serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan apapun, baik ketaatan maupun kemaksiatan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya.
Tidak terlewatkan sedikit pun dari pengetahuan dan catatan Tuhanmu melalui para malaikat-Nya, biarpun nilai perbuatan itu hanya sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin bahwa pada saat Rasulullah melaksanakan urusan yang penting yang menyangkut kepentingan masyarakat, pada saat membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, dan pada saat manusia melaksanakan amal perbuatannya, tidak ada yang terlepas dari pengawasan Allah. Dia menyaksikan semua amal perbuatan itu pada saat dilakukannya.
Yang termasuk urusan penting dalam ayat ini ialah segala macam urusan yang menyangkut kepentingan umat seperti urusan dakwah Islamiyah, yaitu mengajak umat agar mengikuti jalan yang lurus, dengan cara yang bijaksana dan suri tauladan yang baik, membangunkan kesadaran umat agar tertarik untuk melakukan perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya, termasuk pula urusan pendidikan umat dan cara-cara merealisir pendidikan itu hingga menjadi kenyataan yang berfaedah bagi kesejahteraan umat.
Disebutkan pula bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang dibaca itu mencakup semua urusan berdasarkan pola-pola pelaksanaannya, tidak boleh menyimpang dari padanya, karena urusan segala umat secara prinsip telah diatur dalam kitab itu.
Kemudian disebutkan semua amalan yang dilakukan oleh hamba-Nya, yang telah digariskan oleh wahyu yang diturunkan kepada rasul-Nya, dengan mempedomani isi dari wahyu itu dalam urusannya sehari-hari, serta menaati rasul, karena apa yang diucapkan dan dikerjakan rasul menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat.
Allah menandaskan bahwa segala macam amalan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tidak ada satupun yang luput dari ilmu dan pengawasan Allah, meskipun amalan itu lebih kecil dari benda yang terkecil, ataupun urusan itu maha penting sehingga tak terkendalikan oleh manusia.
Disebutkannya urusan yang kecil dari yang terkecil dan urusan yang maha penting, agar tergambar dalam hati para hamba-Nya, bahwa ilmu Allah itu begitu sempurna sehingga tidak ada satu urusanpun yang luput dari ilmu-Nya, bagaimanapun remehnya urusan itu dan bagaimana pentingnya urusan itu, apalagi urusan itu di luar kemampuan manusia.
Ilmu Allah tidak hanya meliputi segala macam urusan yang ada di bumi, tetapi. Juga meliputi segala macam urusan di langit, yang urusannya lebih rumit dan lebih sukar tergambar dalam pikiran manusia. Hal ini untuk menguatkan arti dari keluasan ilmu Allah, sehingga terasalah keagungan dan kekuasaan-Nya.
Di akhir ayat ini, Allah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada satu urusanpun melainkan telah tercatat dalam kitab yang nyata yaitu Lauh Mahfudh, maksudnya segala macam urusan itu semuanya dikontrol dan dikendalikan serta dikuasai oleh ilmu Allah Yang Maha Luas dan tercatat dalam kitab-Nya yang jelas di Lauh Mahfudh.
Allah berfirman:
"Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)." (al-Anam : 59)
**
Meski sudah tahu menjadi saksi namun kemaksiatan terus terjadi. Pentingnya ada pemimpin negeri yang mempunyai kebijakan kuat untuk tegas memberi sanksi jika ada umat sengaja melawan aturan Illahi.
Pemimpin yang punya kekuatan untuk melindungi umatnya dari serangan musuh yang mengajak melawan aturan Allah. Bukankah ketika di akherat harus bertanggung jawab sendiri-sendiri?
Wallahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini