Oleh : Diajeng Tiara Anjani
Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang terdiri dari 2 kelurahan di rempang terancam tergusur berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Cina akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal Cina, Xin Yi International Investment Limited.
Sebelumnya, Kawasan ini menjadi proyek strategis nasional yang telah ditetapkan pada akhir Agustus 2023. Ketentuan tertulis dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Laman kepri.nu.or.id menjelaskan bahwa pembangunan Rempang Eco-City menggusur 1.835 bangunan,. Angka ini merujuk Laporan tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang terbit pada Oktober 2022 dan dilaporan tercatat 15 titik pengajuan hak pengelolaan lahan (HPL) yang diajukan kepada Kantor Pertanahan Kota Batam. Adapun Luas area 15 titik HPL tersebut, yaitu 611,5 Ha. Sedangkan hasil ukur yang disetujui seluas 567,5 Ha.
Pengembangan kawasan Eco-City digarap melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG), menjadikan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, manufaktur, logistik, dan kawasan pariwisata terintegrasi guna meningkatkan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia. Selain itu, pembangunan Rempang Eco-City ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.
-Mengorbankan Rakyat-
Tentu miris menyaksikan intimidasi aparat saat hendak melakukan pengukuran lahan. Rakyat sendiri tentu punya alasan untuk menolak relokasi. ketika mereka pindah, pasti menyangkut banyak hal. “Pertama, ada aspek sosiologis, psikologis, juga finansial. Mereka harus meninggalkan semua sejarah kehidupan mereka, apalagi ini kampung yang sudah sangat lama ada di situ. Itu tidak mudah karena menyangkut historis yang kadang-kadang bersifat sangat emosional,” jelas UIY . Meski pemerintah berdalih bahwa warga belum memiliki hak legalitas tanah. Namun, jauh sebelumnya, warga telah mengajukan legalitas tanah, tetapi tidak kunjung diberikan.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan perencanaan Rempang Eco-City sejak awal tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat, padahal masyarakat telah menempati wilayah tersebut sejak 1834. Pemerintah juga berdalih bahwa pembangunan Rempang Eco-City merupakan proyek strategi nasional yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun ertanyaan kritisnya, apakah proyek strategis nasional ini harus mengorbankan rakyat? Melihat latar belakang kasus ini jelas kepada siapa pemerintah berpihak.
Nicko melihat, kerjasama dengan Cina di Rempang ini harus diwaspadai, jangan sampai Rempang-Galang menjadi titik koordinat Cina di Asia Tenggara menyaingi Singapura yang menjadi titik koordinat Amerika.
“Kalau itu terjadi, berarti kita cuma menjadi penyedia lahan bagi pemain global untuk saling bertarung. Ini yang harus dikritisi dari rencana investasi ini. Untuk membangun, kita tidak hanya butuh cuan, tetapi wajib mempertimbangkan nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan,” pungkasnya
-Spirit Kapitalisme-
Kasus di Pulau Rempang bukanlah kasus pertama. Berdalih proyek strategi nasional dan mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengorbankan rakyat. Jikapun ada relokasi dan ganti rugi, hal demikian hanyalah obat penenang. Untuk jangka panjang proyek-proyek tersebut hanya menguntungkan segelintir orang. Sejatinya, proyek tersebut adalah proyek korporasi.
Lebih lanjut, UIY menilai, legalitas lahan rakyat yang dipersoalkan justru akan menambah masalah. “Ini menyangkut cara pandang negara dalam menghargai rakyatnya. Menghargai rakyatnya itu kan bukan sekadar pada aspek formalitas administratif. Ketika Menteri ATR/Kepala BPN mengatakan mereka tidak punya sertifikat, lah iya, mana ada? Banyak sekali kampung yang enggak punya sertifikat. Itu kan aspek legalitas modern yang baru datang ini hari. Yang namanya Indonesia itu ada pada 1945, sedangkan mereka sudah tinggal, jauh sebelumnya,” paparnya
Ia menyatakan, semestinya mindset yang utama adalah pada pertanyaan, sebenarnya investasi itu demi siapa? Dikatakan, demi pertumbuhan ekonomi. “Pertumbuhan ekonomi itu demi siapa? Demi rakyat ataukah rakyat dikorbankan demi investasi? Itu pertanyaan yang sangat mendasar,” cetusnya. Memang, lanjutnya, pasti akan dijawab bahwa investasi ini demi rakyat. “Tapi, kalau rakyat menolak, berarti kan bukan demi rakyat. Mereka ada di situ, kok. Kalau ada kebaikan, kemakmuran, kesejahteraan, pokoknya serba yang hebat-hebat itu, maka mestinya kan mereka di tempat itu yang paling banyak menikmati,” ungkapnya.
Harus diakui, jeratan investasi para oligarki sudah sedemikian parah. Terlebih setelah ketuk palu UU Omnibus Law yang menghapus seluruh hambatan masuknya investasi di lapangan. Alhasil, saat pembangunan suatu negara hanya bersandar pada investasi, saat itu pula arah pembangunan ditentukan segelintir orang. Melalui investasi pula, korporasi dengan mudah mendikte kebijakan pemerintah meski harus mengorbankan rakyat.
Pada Juni 2017 lalu, Presiden mengeluarkan Perpres 58/2017 tentang perubahan atas Perpres 3/2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Perpres yang mengandung 245 proyek tersebut utamanya mengatur mengenai aspek pembiayaan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dapat terlaksana dengan pembiayaan nonpemerintah, sehingga Indonesia benar-benar mengandalkan investasi dalam pembangunan, berbagai produk kebijakan yang memihak investor pun hadir. Ini adalah bukti nyata adanya lingkar kekuasaan yang menghubungkan kepentingan pengusaha dan penguasa.
-Perspektif Islam-
Dalam Islam, prinsip pembangunan tidak tegak atas pilar yang membawa mudarat bagi rakyat sebab prinsip pelayanan pemerintah terhadap rakyat merupakan amanah yang akan Allah hisab kelak. Oleh karenanya, pembangunan terlaksana dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat dan dilakukan secara mandiri.
Tidak ada pengalihan peran negara terhadap individu dalam pemerintahan Islam sebab hal tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap syariat. Alhasil, seorang penguasa harus memiliki mentalitas negarawan yang amanah dalam melayani dan mengurus rakyat.
Sistem yang diadopsi tentu tidak kalah pentingnya karena seluruh kebijakan berpijak pada konsep-konsep pemikiran yang lahir dari sistem tersebut. Jika dalam kapitalisme negara abai dan perannya beralih pada pemodal adalah perkara pasti, dalam Islam sungguh berbeda.
Dalam Islam, negara berperan utuh dalam mengurus seluruh kemaslahatan rakyat, termasuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang negara lakukan bukan hanya berpijak pada upaya mewujudkan kemaslahatan rakyat, tetapi juga berpijak pada prinsip politis. Maksudnya, pembangunan negara bertujuan untuk menunjukkan ketinggian Islam dan syariatnya sekaligus.
Pembangunan-pembangunan yang pemerintah Islam lakukan pada masa kejayaan Islam berpijak pada prinsip yang kukuh bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Inilah spirit yang dapat kita jejaki pada berbagai bangunan peninggalan peradaban Islam. Keindahan bangunan serta fungsinya merupakan mahakarya yang tidak hanya lahir dari penguasaan terhadap ilmu arsitek, tetapi juga spirit Islam yang begitu dalam.
Jika hari ini negara berfokus membangun proyek strategis nasional dengan label kota wisata, eco-city, green city, atau apa pun itu, pada masa peradaban Islam pun sudah ada kota-kota megah yang ramah lingkungan dan rakyat merasakan kemaslahatan pembangunan tersebut.
Kemudian didalam islam sangat jelas diatur terkait lahan atau tanah yang ditempati oleh rakyat. Yaitu terkait, Milik individu, milik umum, atau milik negara. Negara itu boleh menyerahkan kepada siapa pun sepanjang lahan atau wilayah itu milik negara atau milkiyah Daulah. Tapi ketika itu milik umum, apalagi milik pribadi, negara tidak boleh semena-mena menyerahkan kepada investor, seperti Pulau Rempang ini.