By. Ima Khusi
Pemilu presiden masih tahun depan, tapi kontestasi politik calon pemimpin negara sudah di mulai. Berita tentang siapa yang pantas dan tak pantas, layak atau tak layak menjadi pemimpin, terus digulirkan oleh parpol dan para masa pendukung, guna mendukung calon yang mereka unggulkan. Bahkan tak sedikit dari para pendukung bakal calon ini yang melakukan kampanye hitam baik secara offline maupun online, di realita atau di media sosial.
Di tengah panasnya bursa pencalonan pemimpin ini, relasi antara agama dan politik pun kembali di benturkan. Hal ini terlihat dari himbauan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang memperingatkan agar masyarakat jangan memiliih pemimpin yang bisa memecah belah umat.
Sebagaimana yang dilansir dari Republika 3/9/2023. "Masyarakat harus cek betul calon pemimpin kita ini pernah nggak memecah belah umat? Kalau pernah maka jangan dipilih," ucap Menag yang juga meminta agar mayarakat tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok," ujarnya.
Tentunya pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa jika agama menyatu dengan politik maka akan menimbulkan sesuatu yang negatif, dan ini sungguh merupakan pernyataan yang menyesatkan dan berbahaya.
Kenapa Islam dibenturkan dengan Politik?
Sebenarnya bukan kali ini saja agama dibenturkan dengan politik. Dari sebelumnya pun agama, khususnya Islam selalu ditolak untuk dibawa-bawa ke ranah politik. Padahal kriteria ideal pada saat memilih seorang pemimpin harusnya orang tersebut adalah orang yang taat pada agamanya. Namun karena sistem yang diterapkan adalah kapitalisme-sekuler, maka pemimpin ideal itu amat jauh panggang dari api.
Politik saat ini memang hanya diartikan sebagai alat peraih kekuasaan yang menggunakan berbagai cara agar bisa mencapai tujuan yang diinginkan, tak peduli cara itu membawa manfaat atau mudharat, halal atau haram yang jelas semua berdiri atas kepentingan pribadi, golongan, atau partai.
Hal ini jelas berbeda dengan politik dalam Islam yang bermakna mengurusi umat atau rakyat dengan menjadikan Islam sebagai dasar aturannya, Al-Qur'an sebagai landasannya, dengan tujuan untuk mencapai rida dari Allah.
Oleh sebab itu wajar jika akhirnya di sistem kapitalis-sekuler ini tidak menerima agama khususnya Islam diikut campurkan atau selalu dibenturkan dengan politik, karena Islam dianggap akan menghambat setiap kepentingan yang ingin dicapai, dan inilah tujuan dari sistem sekuler yaitu menjauhkan umat dari Islamnya.
Yang Sebenarnya!
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Dalam Islam segala hal dari yang terkecil sampai yang besar semua ada aturannya, termasuk dalam hal memilih seorang pemimpin. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sudah sepantasnya menjadikan Islam sebagai pegangan dalam memilih pemimpin, bukan malah dibuat jauh dari Islam atau malah dibentur-benturkan.
Karena dalam Islam kriteria seorang pemimpin itu jelas dijabarkan yaitu harus senantiasa terikat dengan hukum syarak, bersikap adil, amanah, dan bertanggung jawab dengan apa yang dipimpinnya. Sehingga saat memimpin tidak akan menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk berbuat sewenang-wenang atas dasar kepentingan pribadi atau golongannya.
Sejatinya agama adalah filter dalam menyaring calon pemimpin, karena hal itu menjadi bagian penting bagi keberlangsungan dari sebuah negara ataupun peradaban. Dan agama yang bisa menjadi filter itu hanyalah agama Islam yang diterapkan secara kafah bukan Islam yang hanya diterapkan sebagian, atau Islam yang hanya tampak dipermukaan seperti yang terjadi saat ini.