Ada Apa Dibalik Moderasi Beragama?




Oleh: Tri S, S.Si

Presiden RI menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada tanggal 25 September 2023. Dikutip dari laman Setkab.go.id, disebutkan keragaman agama dan keyakinan merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia yang mendasari perilaku warga negara. Negara yang menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga disebutkan, penguatan moderasi beragama diperlukan karena merupakan modal dasar untuk keutuhan dan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Penguatan moderasi beragama tersebut memerlukan arah kebijakan dan pengaturan yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan. "Peraturan Presiden ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan umat beragama dalam rangka penguatan moderasi beragama," bunyi Pasal 2 (Republika.co.id, 29/09/2023).


Arus moderasi beragama terus digencarkan, konon untuk menciptakan suasana teduh, ramah dan damai. Ide ini sekaligus dianggap mampu menjadi solusi untuk menetralisir gerakan radikalisme . Benarkah demikian, atau hanya sebuah klaim sepihak yang nyatanya punya agenda terselubung yang wajib diwaspadai?


Moderasi adalah istilah yang sama dengan moderat, dimaknai sebagai jalan tengah. Cikal bakal munculnya Istilah moderat bermula abad pertengan di Eropa, dimana kaum gerejawan mengambil peran sebagai wakil tuhan untuk menghisap darah rakyat, dan di sisi lain ada perlawanan dari kaum intelektual yang merasa keberatan dengan hal tersebut.
Perseteruan yang alot mengantarkan pada kesepakatan, agama tidak boleh diingkari secara total namun perannya dalam kehidupan harus dihilangkan. Dari sinilah lahir paham sekularisme yang memisahkan agama dalam kehidupan dan juga memisahkan agama dari negara.


Setelah runtuhnya kekuasaan Islam sebagai sistem dan peradaban pada tahun 1924 dan disusul runtuhnya soslialis-komunis pada tahun 90an, maka praktis satu-satunya yang eksis adalah sekularisme yang menjadi asas peradaban kapitalis, tidak terkecuali di negeri-negeri mayoritas muslim. Maka, menjadi sangat wajar menghidupkan ide turunan sekularisme sebagai nyawa yang akan menjamin kelangsungan hidup dan kedigdayaan kapitalisme, salah satunya adalah moderasi ini. Jika kita menelisik lebih dalam, Barat terus menggencarkan serangan pemikiran, untuk membendung geliat kebangkitan Islam sebagai sebuah peradaban. Mulai dari melabeli Islam dengan terrorisme untuk melegitimasi proyek war on terorism secara global. Kemudian formula ini dinilai kurang berpengaruh, maka disusun strategi baru yang lebih lunak dengan menghubungkan Islam dengan radikalisme, sehingga menjadi legitimasi melakukan war on radicalism. Dan semula Istilah radikal yang bermakna netral coba untuk disematkan kepada individu atau kelompok yang memiliki kesadaran pada Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam institusi politik. 


Maka proyek moderasi ini adalah bagian dari realisasi war on radicalism untuk menciptakan islamophobia dan menjadikan umat Islam pihak tertuduh. Hal ini tampak jelas, sebagaimana moderasi beragama dilakukan untuk mencegah radikalisme melalui regulasi pemerintah.


Para pengusung ide ini, agar terkesan Islami maka mereka berusaha menyandingkan dengan menggunakan istilah Islam moderat: al Islam al wasat. Sehingga moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al Islam. Maka moderasi beragama  yang digencarkan hakikatnya racun pemikiran yang dikemas dengan apik. Sehingga dalih menciptakan suasana ramah, damai dan toleran adalah upaya tersistematis menyerang Islam. Menjadikan Islam sebagai pihak tertuduh dan sejalan dengan apa yang mereka labelkan. Mirisnya sebagian kaum muslimin justru mngamini dan menganggap ide ini sejalan dengan Islam.


Apalagi kaum moderat menggunakan ayat Qur’an sebagai dasar propaganda moderasi. Sebagaimana mereka menggunakan firman Allah Swt. “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam ’umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia...” (QS. Al Baqarah:143).  


Menurut mereka, dalam ayat ini memerintahkan umat Islam menjadi umat moderat. Kata wasathan mereka artikan di tengah-tengah. Artinya tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu lembek dalam beragama, yang kenyataannya justru menjadikan Islam dan syariatnya  tidak lebih seperti makanan prasmanan yang bisa dipilih sesuai selera. Memaknai ayat diatas dengan Islam moderat, merupakan argumentasi keliru yang dipaksakan. Karena, makna ummatan wasathan jika merujuk pada tafsir ulama terdahulu, akan didapati bahwa maknanya adalah ummat terbaik/umat pilihan.


Sebagaimana Imam ath-Thabary menafsirkan kata awsath = khiyar, yang terbaik dan pilihan. Status umat terbaik tak bisa lepas dari risalah Islam yang diberikan pada mereka. Demikian juga Sayyid Quthb, menafsirkan ummatan wasathan = umat yang adil dan pilihan, menjadi saksi atas manusia seluruhnya. Maka umat Islam menjadi penegak keadilan di tengah-tengah manusia.
Ibnu Katsir menjelaskan, Allah menjadikan umat ini sebagai ummatan wasath, dengan memberi pengkhususan dan keistimewaan berupa syariah paling sempurna, tuntunan paling lurus, jalan terjelas. Status mulia itu disandang saat menjalankan risalah tersebut. Sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 110 tentang umat terbaik.


Maka jelas, bahwa konsep moderasi beragama tidak datang dari Islam dan tidak dikenal dalam Islam. Kita wajib waspada, perang pemikiran yang terus diaruskan, tentu memilki tujuan, yaitu agar nilai dan praktik Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum muslimin dan diganti hukum, pemikiran dan budaya Barat. Upaya pengkotak-kotakan Islam menjadi Islam moderat, Islam radikal, Islam liberal, Islam fundamentalis dst. adalah strategi Barat menghancurkan Islam. 


Tertuang dalam dokumen Rand Corpotation, tujuannya jelas untuk memecah belah umat Islam. Karena mereka tau bahwa persatuan adalah kekuatan umat Islam. Setelahnya dilakukan strategi belah bambu, yakni yang sejalan dan menerima ide barat mereka angkat, dan jika menolak dan dianggap berbahaya bagi eksistensi peradaban Barat mereka injak. Karena itu, hendaknya kita umat Islam kembali merujuk pada Islam yang diturunkan Allah melalui perantara Rasulullah Saw, Menjalankan syariatnya secara menyeluruh dan menjadikan ikatan aqidah Islam sebagai pemersatu umat Islam dimanapun berada. Saatnya umat Islam bangkit, menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah, gagasan islam politik dan Khilafah sebagai institusinya adalah alarm kematian bagi hegemoni kapitalis global. 


Kaum muslim wajib waspada dan peka, atas setiap serangan pemikiran yang dilancarkan musuh-musuh Islam. Sehingga tidak mudah silau dengan bungkus yang sekilas manis, tapi ternyata menikam Islam dari dalam. Pemahaman politik Islam perlu ditingkatkan agar mampu membendung pemahaman sekuler-liberal, juga memahamkan umat dengan dakwah Islam agar mereka memahami kedudukannya sebagai umat terbaik, sehingga menyadari kemuliaan sejati hanya dengan Islam kafah saja, bukan yang lainnya. Wallahu'alam bi shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak