Oleh: Tati Rahmayanti
Warga Melayu di Rempang menjerit pilu. Lahan yang sudah mereka tempati sejak turun-temurun, tanpa mereka ketahui, ternyata kepemilikannya sudah berpindah tangan. Kini mereka dihadapkan pada kebijakan penggusuran. Di atas tanah mereka akan dibangun Rempang Eco City. Selain itu di Kepulauan Rempang akan dibangun juga industri silika dan solar panel milik perusahaan Cina.
Disini pemerintah berdalih, investasi yang bernilai Rp 300 triliun itu akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan menyejahterakan warga. Namun Konflik tetap pecah, warga yang berusaha mempertahankan lahan mereka dihalau oleh aparat keamanan dengan cara kekerasan. Pemerintah memaksa warga harus mengosongkan lahan mereka segera. Pemerintah berdalih warga tidak mempunyai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Karena itu Pemerintah mengklaim kebijakan di Rempang adalah pengosongan, bukan penggusuran.
Sejatinya, perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari kiamat. Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa Allah SWT menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah menurunkan siksa-Nya, tak ada yang dapat lolos dari azab tersebut.
Syariah Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan Negara Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma.
Syariah Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya.
Namun demikian syariah Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh Negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut.
Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh Negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Malah terbukti, ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka terjadinya perampasan lahan. Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan terancam status kepemilikannya. Bahkan karena tidak ada sertifikat, Negara bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga yang sudah turun-temurun mereka kelola dan mereka huni.
Hanya syariah Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya. Dengan penerapan syariah Islam, Allah SWT pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia.
Tags
Opini