Oleh: Hideyosi Mori
Si Jago Merah kembali “menyapa” Indonesia tahun ini. Meskipun tidak lebih parah dari 2019 lalu, namun tetap membawa efek buruk bagi lingkungan dan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak daerah yang terdampak karhutla.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah ada 526 kejadian karhutla di Indonesia sejak 1 Januari - 5 September 2023. Meski baru delapan bulan berjalan, kasus karhutla tersebut sudah melonjak 108,73% dibandingkan sepanjang tahun 2022. Di kutip dari data Indonesia.id
Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) bukanlah hal baru bagi indonesia, sekitar tahun 1960an hingga kini masih terus terjadi yaitu sejak diterbitkanya PP No. 64 Tahun 1957 tentang eksploitasi hutan dan semakin eksesif ketika diterbitkanya UU No. 5 Tahun 1967 yang menyatakan diperlukannya pengikutsertaan modal asing dan modal dalam negeri dari pihak swasta dalam rangka eksploitasi besar-besaran..
Tak cukup sampai disitu kembali muncul UU No. 6 Tahun 1968 tentang penanaman modal swasta dalam usaha-usaha rehabilitas, pembaharuan, perluasan dan pembangunan baru di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya hingga akhirnya berdampak pada eksploitasi hutan secara “gila-gilaan”. Dari perkara ini maka disahkan pula PP No. 21 Tahun 1970 untuk menjaga kelestarian hutan dan pengamanan kegiatan pemanfaatan hutan yang secara tegas menyatakan bahwa pemanfaatan hutan dalam rangka pembangunan ekonomi nasional secara maksimal melalui pengusahaan hutan.
Patut diapresiasi langkah yang diambil pemerintah dalam menangani problem eksploitasi hutan dengan mengeluarkan kebijakan untuk menjaga kelestariannya. Namun, fakta di lapangan tidak menunjukan adanya perbaikan tetapi sebaliknya meninggalkan kerusakan hutan yang begitu parah dan mengerikan, kita dapat menyaksikanya saat ini.
Berita karhutla seakan-akan menghiasi kehidupan kita dan episodenya masih berlanjut sampai tulisan ini dibuat. Hampir di semua berita menyatakan “si pelaku utama” adalah el nino atau yang dikenal sebagai perubahan pola cuaca akibat peningkatan suhu muka laut di samudera pasifik bagian tengah dan timur, hal ini mengakibatkan musim kemarau ekstrim terjadi di Indonesia.
Benarkah el nino menjadi sebab utama si jago merah ini menyapa Indonesia?
Jurnal yang ditulis oleh S. Andy Cahyono dkk dengan “Judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia dan Implikasi Kebijakannya” menyimpulkan bahwa Determinan luas kebakaran hutan yang signifikan pengaruhnya adalah jumlah hotspot yang terjadi di tiap pulau. Jumlah hotspot elastis dalam jangka pendek dan panjang terhadap luas kebakaran hutan dan gambut di tiap pulau. Untuk itu kebijakan pengendalian karhutla sebaiknya diarahkan pada upaya pencegahan terjadinya hotspot dibandingkan dengan kebijakan saat ini yang lebih cenderung pada upaya pemadaman kebakaran hutan.
Munculnya hotspot sebenarnya disebabkan oleh beberapa pemicu salah satu diantaranya adalah membakar hutan/lahan dengan sengaja untuk menghasilkan keuntungan, dengan cara ini mempermudah para pemilik modal untuk mengalihfungsikan hutan menjadi lahan produksi tanpa benar-benar memperhatikan kerugian yang ditumbulkan bagi masyarakat. Amdal hanya sebatas tulisan di atas kertas dan sanksi yang diberikan seperti bercanda Itulah yang terjadi ketika ideologi kapitalisme-sekularisme yang menjadi asas dalam menjalani kehidupan, Lu punya duit lu punya kuasa.
Islam sangat berbeda dengan kapitalisme
Islam berasal dari pencipta manusia Yang Maha Sempurna sedangkan kapitalisme justru berasal dari manusia itu sendiri yang serba lemah dan terbatas. Dari sini sudah bisa dipastikan aturan-aturan islam pasti mampu memecahkan masalah manusia termasuk karhutla.
Hutan merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh diprivatisasi untuk mencapai keuntungan pribadi sebagaimana Rasulullah saw. bersabda yang artinya “ Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api” HR Abu Dawud dan Ahmad.
Islam memposisikan negara sebagai penanggung jawab untuk menjaga hutan dan lahan gambut demi kelestarian dan iklim bumi. Sehingga negara akan bertindak tegas dalam menghadapi orang-orang yang melakukan pembakaran hutan secara sengaja dengan memberikan sanksi yang menjerakan. Hanya saja, negara tidak akan mampu melakukan ini kecuali sebuah negara yang menerapkan islam secara totalitas. Wallahu ‘alam.