Potret Buram Dunia Pendidikan.




Oleh : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I



       Ramainya kasus kekerasan di dunia pendidikan saat ini sungguh sangat memprihatikan.  Bagaimana tidak pelaku dari tindak kekerasan merupakan anak yang masih mengenyam dibangku sekolah. Tidak hanya usia SMA, SMP anak usia SD pun tak luput dari tindak kekerasan. Baru-baru ini dunia pendidikan dibuat gempar oleh berita yang sangat mengejutkan sekaligus menyedihkan. siswa MTs di Blitar tewas usai dianiaya teman. Korban tergeletak di depan pintu kelasnya setelah dianiaya oleh AJH yang masih duduk di kelas 9 MTs di Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Waktu itu, korban sedang mengerjakan tugas di kelas, lalu pelaku datang dan memanggil korban. Selanjutnya, korban menemui pelaku di depan pintu kelas dan langsung memukuli korban. Salah satu teman sekelas korban menceritakan kronologi tersebut saat ditemui di RSU Al-Ittihad pada 25-8-2023.

Pada hari yang sama, di Lamongan, Jawa timur, seorang santri kelas 1 MTs salah satu ponpes di Kec. Paciran, meninggal dunia diduga dianiaya. Pukul 06.30 WIB, orang tua korban (Basuni, 38), diajak pihak ponpes ke rumah sakit. Ia mendapati putranya sudah dalam keadaan meninggal dunia dengan sejumlah luka pada tubuh korban. (Surabaya Pagi, 25-8-2023). 

Pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia-manusia beradab, sungguh berubah menjadi biadab. Sederet kasus penganiayaan yang berujung maut mewarnai dunia pendidikan. Kasus di atas hanya segelintir contoh kecil yang terjadi. Karena faktanya di daerah lain juga banyak terjadi tindak kekerasan yang terjadi di bangku sekolah maupun universitas. Bahkan sebagian korbannya ada yang sampai meninggal. 

Mengapa Masalah Ini Terjadi?
Kasus penganiayaan remaja dengan pelaku yang juga remaja, masih terus terjadi. Bahkan, kali ini di antaranya terjadi di MTs, sekolah berbasis agama Islam. Tentu hal ini mengundang keprihatinan mendalam. Jika kita analisis permasalahan kekerasan pada remaja ini, ada beberapa penyebabnya, di antaranya kurikulum pendidikan yang belum mencegah terjadinya kekerasan. 

Pendidikan agama di sekolah/madrasah belum mampu membentuk pribadi bertakwa atau kepribadian Islam, yaitu pribadi siswa yang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, pribadi yang senantiasa merasa diawasi Allah dalam setiap tingkah lakunya. Metode pengajaran agama juga sebatas transfer ilmu sehingga tidak menghasilkan pengajaran yang membekas dan memotivasi anak untuk menerapkannya.

Persoalan remaja ini terjadi karena merasuknya berbagai pengaruh buruk gaya hidup sekularisme, hedonisme, dan liberalisme. Kita bisa lihat berbagai film sarat kekerasan menjadi film-film favorit remaja. Ditambah lagi media yang sarat kekerasan juga membanjiri media sosial remaja. 

Hal ini diperparah masih banyak keluarga yang mengabaikan pendidikan bagi putra putrinya, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak heran jika banyak anak-anak yang akhirnya “dididik” oleh media. Keluarga bukan lagi madrasah bagi mereka, bahkan kadang mereka menjadi korban kekerasan dalam keluarga atau menyaksikan terjadi kekerasan dalam keluarganya.

Selain itu, negara juga belum memberi regulasi yang mampu mencegah kekerasan ataupun menerapkan sistem sanksi yang mampu menjerakan.

Selain masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, masih banyak PR pendidikan yang harus segera diselesaikan. Solusi yang selama ini diterapkan, yaitu solusi dari sekularisme liberalisme, tidak mampu menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah lain. Oleh karenanya, kita harus segera mengoreksi bahwa sistem pendidikan yang selama ini diterapkan, belum tepat. 

Bersegeralah menerapkan solusi yang diberikan Allah karena Allah menjamin dengan penerapan aturan-Nya sajalah yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, yaitu melalui penerapan hukum Islam secara kafah yang akan menuntaskan masalah, serta menghindarkan dari musibah, siksa, dan krisis.

Berdasarkan akar masalah kekerasan di dunia pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, berikut solusi menurut Islam.

Pertama, Lembaga Pendidikan dan Kurikulum Harus Mampu Mencegah Kekerasan
Kurikulum pendidikan hendaknya seragam, sejalan dengan strategi dan tujuan pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan wajib berdasarkan akidah Islam. Adapun strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan pola sikap islami (nafsiah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut.

Dari sini, akan tercapai tujuan pendidikan, yakni membentuk kepribadian islami (syahsiah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut akan dilarang.

Membentuk syahsiah islamiah adalah membentuk pola tingkah laku anak didik berdasarkan pada akidah Islam dan tingkah lakunya senantiasa mengikuti Al-Qur’an. (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah juz I). Seorang muslim yang bersyahsiah Islam tentu akan merasa senantiasa diawasi Allah sehingga mengharuskan dirinya senantiasa bertingkah laku sesuai ajaran Islam. 

Bersyahsiah Islam atau bertingkah laku islami merupakan konsekuensi seorang muslim. Seseorang harus memegang erat identitasnya dan jati dirinya sebagai seorang muslim, yaitu senantiasa bertingkah laku yang islami di mana pun, kapan pun, dan dalam aspek apa pun ia beraktivitas. Identitas ini akan menjadi kepribadian yang tampak pada pola pikir dan sikapnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dengan demikian, setiap tingkah lakunya diukur dengan standar ajaran Islam, yaitu halal dan haram.

Kedua, Media Seharusnya Menjadi Media Edukasi bagi Masyarakat
Media harus mampu mendidik masyarakat, yaitu memengaruhi masyarakat menjadi makin bertakwa dan terdorong untuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya; bukan malah mempertontonkan kekerasan, penganiayaan, tawuran, dan sebagainya. 

Ingat, kita harus hati-hati, pada era digitalisasi ini, jangankan anak SMP, anak bayi pun sudah mengakses HP dengan alasan main gim ataupun menonton film kartun untuk menenangkan saat anak rewel. 

Oleh karenanya, pemerintah harus menertibkan media, memberi peraturan berupa larangan media mengekspos kekerasan, juga menindak tegas dan memberi sanksi menjerakan bagi yang melanggar.

Ketiga, Pendidikan Keluarga Harus Mampu Melahirkan Anak-Anak Saleh Salihah
Mendidik anak adalah tugas orang tua dan ibu sebagai pemegang peran utama. Bersama ayah, seorang ibu wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak saleh salihah, yaitu berkepribadian islami atau muslim yang tingkah lakunya berdasarkan akidah Islam. 

Anak yang berkepribadian Islam akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pendidikan adalah hal yang sangat penting diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi anak, kaum muslim, dan agama Islam, kecuali pemberian pendidikan yang baik kepada anak. 

Sabda Rasulullah saw.,

ما نحل والد ولده افضل من ادب حسن

“Tidak ada pemberian seorang ayah (orang tua) yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR Turmudzi).

Orang tua yang mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu mengantarkan anaknya menjadi qurrota a’yun muttaqina imamah (penyejuk hati dan pemimpin orang-orang bertakwa) (lihat QS Al-Furqan: 74).

Dalam hal ini, pemerintah harus menyelenggarakan pembekalan bagi keluarga agar mampu mendidik putra-putrinya.

Keempat, Negara Menetapkan Regulasi yang Efektif untuk Mencegah Kekerasan dan Menerapkan Sistem Sanksi yang Menjerakan
Terkait sanksi penganiayaan, agar peraturan ditaati/dilaksanakan, negara harus menjamin pelaksanaan aturan tersebut dan memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Sanksi harus berfungsi untuk mencegah (zawajir) bagi masyarakat agar tidak melakukan kekerasan, juga berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) atau membuat jera ‘kapok’ bagi pelakunya.

Dalam kitab Nizham al-Uqubat fi Al-Islam, Syekh Abdurahman al-Maliki menyebutkan sanksi bagi pembunuh tidak sengaja adalah wajib membayar diat. Satu diat setara 1.000 dinar dan satu dinar setara 4,25 gram emas. 

Bagi yang melakukan penganiayaan akan diberi sanksi sesuai luka yang dialami korban. Bagi yang menganiaya sampai melukai kepala akan didenda 1/3 diat dan satu kaki 1/2 diat. Adapun bagi yang membunuh dengan sengaja, ia dihukum mati.

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 179,

وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩

“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Mengenai sanksi bagi orang yang memfitnah, mencela orang lain, mengolok-ngolok orang lain dan pelanggaran yang lain terhadap harga diri, ia diberi sanksi penjara. Lama dan tidaknya tergantung besar-kecil kesalahannya. (Syekh Abdurahman al-Maliki, Nizham Uqubat fi Al-Islam).

Islam melarang pembunuhan, baik bunuh diri, pembunuhan sengaja, maupun pembunuhan tidak sengaja. Sekalipun pembunuhan tidak sengaja, akan tetap diberi sanksi. 

Inilah keagungan ajaran Islam, sangat menjaga dan menghargai manusia. Hal ini menjadikan setiap individu berhati-hati dalam bertindak, jangan sampai perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain. 

Mengenai larangan pembunuhan yang disengaja, terdapat dalam QS An-Nisa: 93,

وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Lalu terkait pembunuhan yang dilakukan anak-anak. Dalam Islam, anak sudah tidak dianggap sebagai anak-anak ketika sudah balig, yaitu bagi perempuan jika sudah haid dan laki-laki jika sudah bermimpi basah. Dalam ilmu fikih, jika dikaitkan dengan ukuran usia, balig berkisar 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Sedangkan anak mumayiz sekitar tujuh tahun sampai balig.

Terkait sanksi pembunuhan, bagi anak yang sudah balig, sanksinya sama dengan orang dewasa. Adapun bagi anak mumayiz, menurut Prof. Huzaimah dalam karyanya, Fiqih Anak, beliau menyebutkan bahwa anak mumayiz, keimanan dan kekufurannya sudah dianggap. 

Bisa disimpulkan bahwa anak mumayiz sudah sah melakukan ibadah salat, saum, dan dapat pahala, maka jika melakukan kejahatan, juga dianggap sebagai suatu kejahatan. Oleh karena itu, jika anak mumayiz membunuh, ia tetap mendapat hukuman ta’dib (untuk mendidik).

Selanjutnya  Imam Syafi’i dalam Bidayatul Mujtahid berpendapat tentang sanksi diat bagi anak yang membunuh. Diat ini ditanggung keluarganya dan anak tidak dihukum kisas karena kisas hanya untuk pembunuh atau pelaku kejahatan seseorang yang mukalaf, yaitu berakal dan balig. Ibnu Qudamah ra. menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada kisas terhadap anak kecil dan orang gila.” (Al-Mughni 11/481).

Khatimah
Semua itu akan mendorong orang tua mendidik anak-anaknya agar tidak melakukan kejahatan dan kemaksiatan, serta senantiasa bertakwa dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang tua juga akan senantiasa menjaga keluarganya dari api neraka.

Firman Allah dalam QS At-Tahrim: 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Demikianlah penerapan Islam secara kafah akan mampu menyelesaikan kasus kekerasan di dunia pendidikan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak