Polusi Udara Jakarta Semakin Parah, Sebenarnya Salah Siapa?



Oleh : Mawaddah Sopie



Pagi itu langit Pekanbaru cerah. Sedari pagi sikecil semangat bangun tidur. Karena hari ini terakhir ada di kota orang di tanah melayu. Dia semangat untuk pulang ke kota hujan Bogor, kota kelahirannya. Berhubung transportasi udara yang kami tempuh, mau tidak mau kita transit terlebih dahulu di ibukota. Niat hati ingin mengajak sikecil menengok indahnya Jakarta di sore hari menjelang maghrib. Dengan gemerlap lampu kerlap - kerlip diketinggian. Tapi ternyata fenomena itu sirna. Bukan indah yang tampak. Kaca jendela pesawatpun seperti berkabut. Tapi itu ternyata berdebu. Dalam hati tertegun. O... Yang diberitakan di televisi ternyata benar adanya. Udara Jakarta sedang tidak baik - baik saja.

Kualitas udara di DKI Jakarta terpantau masih buruk. Hal ini dapat dilihat dari pengukuran Air Quality Index Visual Map (www.aqicn.org).
Kondisi udara di Jakarta juga tercatat masih lebih kotor dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Bahkan Kota Jakarta juga tercatat sebagai ibu kota yang kualitas udaranya berada pada skor 199.
Berdasarkan penjelasan pada situs, skala kualitas udara dihitung berdasarkan indeks penilaian angka dari 0 - 500 berdasarkan US-EPA 2016, yang juga dibedakan dengan warna. Skor 50 merupakan kondisi baik, 100 sedang, 150 tidak sehat bagi segelintir kelompok yang sensitif, 200 tidak sehat, 300 sangat tidak sehat, dan 500 berbahaya.

Dari pantauan CNBC Indonesia pada pukul 15.00 WIB hari ini, Senin, 23 Agustus 2023. Kualitas udara di DKI Jakarta tercatat rata-rata dengan skor 139 dengan kategori pencemaran udara tidak sehat bagi segelintir kelompok yang sensitif. Namun demikian, ada daerah di DKI Jakarta yang mendapatkan skor tertinggi 322 atau kategori berbahaya, tepatnya di area Grogol, Jakarta Barat. Sedangkan area Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat mendapatkan skor 126 yang masuk kategori tidak sehat bagi beberapa kalangan. Begitu juga wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Beda dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Cirebon kualitas udaranya terpantau lebih baik dari Jakarta, yakni mendapatkan skor 61 dengan kategori pencemaran udara sedang, dan Malang dengan skor 84 kategori pencemaran sedang. Sedangkan Semarang mendapatkan skor 118 dengan kategori berdampak buruk bagi segelintir kelompok yang sensitif. Sementara di Denpasar, Bali tercatat dengan skor 62 atau kategori sedang.

Selain itu, Kota Jakarta menjadi kota paling buruk kualitas udaranya dibandingkan kota besar di negara tetangga. Seperti, pusat bisnis kota Melbourne dan Sydney, Australia dengan kualitas udara baik yang memiliki skor 23.

Adapun Singapura mendapatkan skor 43 dengan kategori sedang, Kuala Lumpur, Malaysia mendapatkan skor 51 dengan kategori sedang.
Sedangkan Hanoi, Vietnam mendapatkan skor 78 dengan kategori pencemaran sedang. Bangkok, Thailand dengan skor 53 dengan kategori pencemaran udara sedang. (cnbcindonesia.com.23/08/2023).

Miris bukan? Namun ironinya Bank dunia malah mendukung pembangunan PLTU batubara baru di wilayah jabodetabek dan di wilayah Indonesia lainnya. Padahal ada problem polusi udara yang parah, dan jelas membahayakan kesehatan umat manusia dan berpotensi ada penggusuran warga.
Akan tetapi, disisi lain ada kebutuhan negara akan ketersediaan listrik. Sungguh sangat dilematis. Tapi inilah realitanya. Dukungan Bank Dunia tentu tak lepas dari kebijakan pembangunan ala Kapitalisme sekuler, yang selalu mencari keuntungan dan memprioritaskan materi serta mengabaikan potensi resiko yang mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Lantas sebetulnya siapa yang salah dalam kasus ini? Dan siapakah yang harus betul-betul bertanggung jawab?Terlebih kasus ini telah mengancam kesehatan masyarakat.

Dalam hal ini penguasa lah yang harus agresif mencari solusi atas masalah tersebut. Karena tugas penguasa adalah pelayan rakyat. Saat kesehatan rakyat terganggu dan mengancam jiwa hingga terancam kehilangan nyawa. Justru negara harus berfikir keras mencari solusinya. Dan membuat kebijakan yang mengakar hingga tercipta solusi yang efektif dan tepat.

Sikap penguasa yang efektif dan tepat itu hanya ada dalam aturan dan Kebijakan dalam Islam. Pembangunan dalam Islam berorientasi pada kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Alloh SWT.

Seperti yang dijelaskan oleh syaikh Atha Rasytah dalam kitabnya, Bahwa "Politik perindustrian dan membangun negara industri dalam pandangan Islam". Yakni dengan inisiatif menciptakan industri permesinan. Sehingga tidak bergantung pada kebijakan asing yang kapitalis dan sekuler.
Serta tercipta dalam sistem Islam pembangunan yang tidak merusak lingkungan. (MuslimahMediaCenter. 19/09/2023).

Maka dalam pandangan Islam adanya PLTU itu urgent dengan adanya batubara sebagai bahan baku. Namun sebagai sumber energi, batubara ini tidak boleh dikuasai dan di monopoli swasta. Karena merupakan sumber daya alam. Jadi negara yang cuma boleh mengelola untuk kesejahteraan rakyat.

"Kaum muslimin berserikat dalam 3 perkara. Yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Dan saat PLTU dibangun
Kebijakan negara tidak boleh membawa dharar dan dzalim. kewajiban Negara mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat bagi umat manusia.

Dari Abu sa'id, sa'ad bin Sinan. Al-khudri radhiyallaahu a'nhu.
"Tidak boleh melakukan perbuatan (mudhatat). Yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain". (HR. Hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni serta selainnya dengan sanad yang bersambung).

Semua kondisi ideal tersebut, bisa terjadi kalau Islam diterapkan secara kaffah ( menyeluruh) di negri ini. Wallohua'lam. Bissowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak