Oleh : Ami Ammara
Jelang tahun politik 2024, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Hanya saja, Gus Yaqut, sapaan akrabnya, tidak menyebut sama sekali siapa sosok yang dimaksud.
"Harus dicek betul. Pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah-belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih," kata Menag Yaqut di Garut, Jawa Barat. (Republika.co.id, Ahad, 3/9/2023).
Menag Yaqut juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai 1!1, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok," ujarnya.
Maka pemimpin yang ideal, menurut Gus Yaqut, harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. "Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih," kata politikus PKB tersebut.
Gus Yaqut hadir di Garut dalam rangka menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat. Di depan puluhan ribu peserta tablig akbar, ia menyampaikan pentingnya penelusuran rekam jejak saat menentukan calon pemimpin bangsa.
Hal itu bertujuan agar bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah dan dapat mengemban tanggung jawab kemajuan negeri ini. "Saya berpesan kepada seluruh ikhwan dan akhwat ini agar nanti ketika memilih para pemimpin, memilih calon pemimpin kita, calon presiden dan wakil presiden, kita, lihat betul rekam jejaknya," kata Gus Yaqut.
Ungkapan Menag menyesatkan umat, dan membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik.
Pandangan ini menguatkan bahwa negara ini memang sekuler.
Politik Sekularisme, Rusak!
Seharusnya yang diperingatkan oleh Menag adalah ketika agama dipisahkan dari politik dan pemerintahan, alias menggunakan prinsip-prinsip sekularisme demokrasi.
Terbukti hal itu menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai rebutan parpol dan elite politisi setiap Pemilu. Bahkan mereka sering menggunakan prinsip Machiavelli, menghalalkan segala cara.
Modus pencitraan merakyat dan peduli rakyat, janji palsu dan politik uang jadi formula baku banyak politisi. Tidak ada rasa takut lagi akan dosa-dosa akibat perbuatan mereka.
Mestinya yang pantas dicap mempolitisasi agama adalah mereka yang berkamuflase menjelang Pemilu seolah islami; bersorban, berkerudung, sowan kepada para ulama, difoto sedang salat, buka puasa, dan sebagainya. Faktanya, keseharian mereka belum tentu demikian. Semua dilakukan sebagai pencitraan agar dipilih oleh kaum muslim.
Lebih buruk lagi, sistem politik sekularisme demokrasi meniscayakan politik uang. Penelitian yang diterbitkan situs Rumah Pemilu terhadap Pemilu 2019, menyebutkan saking tingginya politik uang di Indonesia, menurut standar internasional, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia. Artinya, politik uang sudah dianggap wajar dalam Pemilu Indonesia.
Jumlah uang yang berputar dalam Pemilu tidak main-main jumlahnya. Menurut ekonom senior, Raden Pardede, belanja politisi sampai Pemilu nanti diperkirakan akan mencapai Rp200 triliun. Ia juga memastikan hal ini selalu terjadi saat tahun politik. Untuk apa uang sebanyak itu? Sebagian tentu saja untuk politik uang.
Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, dan cawapres dari Koalisi Perubahan, mengakui kalau uang amat menentukan seseorang jadi anggota DPR RI. Ia menyebutkan butuh dana Rp40 miliar untuk jadi anggota legislatif pusat. “Politik uang, yang kaya yang berkuasa, yang menang yang punya duit, itu terbukti di lapangan dengan baik,” katanya.
Dari mekanisme Pemilu seperti itu, apa yang bisa diharapkan oleh rakyat? Terbukti eksekutif dan legislatif sering melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, rencana pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, atau misalnya rencana pencabutan Pertalite untuk diganti Pertamax Green yang justru lebih mahal.
Nabi saw. mengingatkan ancaman kepada para pemimpin yang suka menipu rakyat dalam masa jabatannya.
Sabda beliau,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang mengatur rakyat, lalu mati, dan hari ketika ia mati ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan untuk dirinya surga.” (HR Al-Bukhari).
Amanah Menegakkan Syariat
Islam, politik, dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi. Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu. Dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ, (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Dalam Islam, menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal saleh untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt. telah memerintahkan para pemimpin untuk berhukum dengan syariat-Nya dan menunaikan amanah. Firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil.” (TQS An-Nisa’ [4]: 58).
Imam Ath-Thabari, dalam Tafsîr Ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru.”
Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS Al-Maidah ayat 44. 45, dan 47, bahwa siapa saja yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah statusnya adalah kafir, zalim, atau fasik.
Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan soal politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah bukan sekadar pemimpin yang saleh secara personal, tetapi juga menciptakan kesalehan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Sebabnya, ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam.
Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariat Islam, sesaleh apa pun seorang pemimpin, tidak akan bisa mengundang rahmat Allah Swt.
Wallahu alam bi ash-shawab.
Tags
Opini