Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Pemerintah bersama Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencanangkan program SDGs (Sustainble Development Goals) terkait pembangunan desa yang melibatkan kaum perempuan. Di antara tujuan SDGs tersebut adalah agar ekonomi desa tumbuh merata, ramah perempuan, peduli pendidikan, peduli kesehatan, peduli lingkungan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya. Seperti apa yang disampaikan oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Menurutnya "peran perempuan sangat penting dalam pembangunan desa dan bukan hanya sekedar pelengkap saja. Perempuan desa, lanjutnya, merupakan kontributor penting dalam produksi pertanian, ketahanan pangan dan nutrisi, pengelolaan lahan, sumber daya alam dan ketahanan iklim". Abdul Halim mengatakan bahwa perempuan merupakan kunci keberhasilan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). (Voa,16/10/2022)
Pembangunan desa tidak lepas dari proyek feminis melalui ide kesetaraan gender. Kesetaraan gender menjadi isu utama dunia yang ingin diwujudkan pada 2030 melalui Planet 50×50 dan SDGs. Kesetaraan gender adalah proyek ambisius dunia yang diyakini dapat menyejahterakan perempuan, bahkan meningkatkan perekonomian dunia. Atas tujuan itu pula, Barat deras mengaruskan ide kesetaraan di negeri-negeri muslim. Perempuan dituntut untuk mandiri, bahkan dari sisi ekonomi.
Sesungguhnya, program pemberdayaan ekonomi perempuan merupakan perpanjangan tangan dari sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengukur produktivitas seseorang berdasarkan materi, termasuk kaum perempuan. Perempuan produktif dihargai atau dihormati dengan sejumlah nominal. Makin produktif, makin tinggi insentifnya. Makin besar penghasilannya, perempuan dianggap lebih mulia, lebih tinggi derajatnya. Sedangkan seorang ibu rumah tangga biasa jelas dipandang tidak produktif oleh program ini. Maka untuk meningkatkan ekonomi perempuan yang dilakukan pemerintah adalah program UMKM (usaha mikro kecil menengah).
Pemerintah tampak berupaya keras menggenjot pelibatan lebih banyak lagi kaum perempuan dalam UMKM. Antara lain dengan cara memberi berbagai bantuan mulai dari permodalan, pelatihan, dan pendampingan. Juga pada saat bersamaan, berupaya meningkatkan kapasitas mereka melalui pemanfaatan platform digital. Dengan terjunnya perempuan dalam bidang kerja, walaupun itu usaha kecil, menurut mereka akan bisa memajukan desa dan membangun desa secara berkelanjutan, dan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bahkan dunia. Padahal sebenarnya yang menikmati keuntungan adalah para pemilik modal.
Maka tidak heran jika anak-anak tampak kehilangan kasih sayang yang dibutuhkan. Keluarga-keluarga mereka pun kian kehilangan harmoni dan kehangatan. Hak dan kewajiban dalam keluarga berjalan makin timpang, bahkan abnormal. Hingga dampaknya, dekadensi moral generasi dan kriminalitas makin mewabah, dan struktur keluarga pun kian goyah. Semua ini tentu kian menambah kesulitan bagi kaum ibu untuk memerankan tugas pentingnya secara optimal. Dan dalam pembangunan desa, itu tidak hanya peran perempuan saja, tapi sebenarnya itu tugas pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dan jika menelaah realitas sesungguhnya, ketimpangan yang dialami perempuan pada dasarnya juga dialami oleh laki-laki baik di kota maupun di desa. Kalau perempuan mengeluhkan cakupan lapangan kerja, justru banyak laki-laki yang menjadi korban PHK hingga terus menjadi pengangguran. Jika perempuan mengeluhkan kemiskinan, tidak sedikit laki-laki yang masih berkubang dalam kemiskinan. Jika perempuan menuntut keadilan dalam masalah upah, pendidikan, kesehatan, dan berbagai isu lainnya, sesungguhnya seluruh masyarakat juga mengeluhkan hal yang sama. Semua ini karena akibat penerapan sistem kapitalis sekuler yang mengejawantahkan dalam sistem hidup dan bernegara di negeri ini. Wallahu a’lam bi ash showab.