Oleh: Ummu Fathan
Pada setiap manusia, Allah berikan rahmat berupa potensi kehidupan yang terdiri dari akal pikiran, kebutuhan jasmani, dan naluri-naluri. Rahmat Allah pula yang memberikan kesempurnaan penciptaan manusia lengkap beserta seperangkat aturan bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Semuanya lengkap dan disampaikan kepada manusia melalui perantara utusannya.
Keberadaan akal pikiran ini nanti pada akhirnya akan mengarahkan manusia bahwa dalam memenuhi semua kebutuhan jasmani dan naluri-naluri nya tidak bisa sembarangan. Tidak pula hanya sebatas memperturut sebatas perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Akal akan memandu untuk menimbang apakah tata cara yang dipilih dalam memenuhi kedua potensi lainnya sudah sesuai atau belum dengan perangkat aturan yang sudah Allah tetapkan. Akal ini akan bersimbiosis dengan bantuan dalil syariah untuk membulatkan kepatuhan pada aturan yang ada.
Pasalnya jika tanpa kebijakan bertindak sesuai aturan yang ada, pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri-naluri bisa terjadi secara serampangan layaknya hewan. Tidak mengenal mana halal haram, mana salah mana benar. Asalkan dirasa cocok disikat, asalkan kuat menang. Padahal antara kebutuhan jasmani dan naluri-naluri masing-masing memiliki perbedaan-perbedaan.
Kebutuhan jasmani memang menuntut untuk selalu dipenuhi, sebab jika tidak dipenuhi bisa mendatangkan bahaya bagi individu bersangkutan. Rasa lapar misalnya, ia akan berpotensi mematikan jika terus-menerus diabaikan tanpa diberi makanan. Begitu pula kebutuhan jasmani lainnya yang memang datangnya dari diri manusia itu sendiri.
Namun tidak dengan naluri-naluri, ia tidak akan mendatangkan bahaya sangat bagi individu yang bersangkutan, melainkan hanya memunculkan kegelisahan yang sifatnya temporal. Artinya kegelisahan ini dapat dialihkan dengan fokus pikiran dan kesibukan yang ditujukan pada hal lainnya. Sebab pada dasarnya naluri ini munculnya pemicu berasal dari luar manusia itu sendiri. Bisa dari apa saja yang tertangkap panca indera kemudian dipikirkan, namun sekali lagi ia tidak harus dipenuhi.
Di antara naluri yang sering menonjol adalah pengakuan akan hadirnya sesuatu yang lebih hebat di luar diri manusia. Penampakannya bisa berupa kekaguman, menghormati, atau mengkultuskan sesuatu yang dianggap hebat, baik berupa benda, manusia, ataupun makhluk lainnya.
Naluri mengkultuskan sesuatu ini tidak boleh lepas tanpa kendali. Ia tidak boleh pula dibiarkan memperturut perasaan belaka tanpa dikaitkan akal. Sebab dalam kenyataannya perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang dikultuskan dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat yang dianggap lumrah terhadap apa yang diyakininya. Tanpa sadar, cara ini justru menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan, semisal penghormatan berlebihan pada patung dari yang dikultuskan tadi.
Pengkultusan pada makhluk tidaklah dibenarkan. Bahkan jika yang dikultuskan itu adalah ulama hebat sekalipun. Rasulullah memperingatkan melalui sabdanya: "Janganlah kalian melampaui batas dalam memuji diriku seperti perbuatan kaum Nasrani kepada Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hambaNya. Karena itu panggilah oleh kalian (aku ini) hamba Allah dan RasulNya." (HR. Al Bukhari).
Dari sini nampak jelas, bahwa sekaliber Rasulullah yang dijamin maksum tanpa cacat dosa saja tidak boleh dikultuskan, apalagi hanya manusia biasa yang tidak luput dari celah salah dan dosa? Apakah pengkultusan pada manusia tidak rawan menduakan pengkultusan yang seharusnya hanya diberikan kepada AlKhaliq saja? Bukankah pengkultusan pada sesama manusia juga rawan menjadikan sosok tersebut dipandang memiliki kesakralan khusus? Apakah itu tidak bahaya dari sisi akidah?
Maka menjadi penting agar naluri mengkultuskan sesuatu ini dikendalikan agar tepat sasaran. Yakni hanya mengkultuskan Allah sebagai pemilik segala kesempurnaan dan kehebatan. Caranya hanya dengan mengibadahi Allah sesuai syariatNya.
Menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang Allah di semua urusan kehidupan.
Berpotensi bahaya jika naluri seperti ini tidak dikendalikan. Atas alasan demi kepentingan tertentu bisa saja jatuh pada hal yang diharamkan, seperti misalnya membuat patung yang fantastis dengan biaya triliunan. Jikalau sampai patung itu jadi sesuai harapan, apakah sebenarnya itu yang sedang dibutuhkan?[]
Sumber gambar: Islam Paripurna