Oleh Siti Aminah, Aktivis Muslimah
Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).
Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g.
Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD.
Jika mantan koruptor ingin mendaftar, hanya diwajibkan mengumumkan kepada publik terlebih dahulu bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan telah selesai menjalani hukuman.
"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," bunyi Pasal 240 Ayat 1 huruf UU Pemilu.
Jelang Pemilu 2019 lalu, KPU sebetulnya pernah membuat peraturan yang secara gamblang melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD serta DPD.
Akan tetapi, syarat yang dibuat KPU itu digugat ke Mahkamah agung (MA). Pembatasan hak politik bagi mantan napi korupsi yang digagas KPU lalu sirna karena MA membatalkan aturan tersebut.
Kala itu, MA menyatakan aturan KPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif bertentangan dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Walhasil, Pemilu 2019 lalu setidaknya ada 49 calon anggota legislatif yang merupakan mantan napi kasus korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 40 menjadi calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sementara 9 lainnya sebagai calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD).CNN Indonesia,22/09/2023.
Sangat mengenaskan kalau mantan koruptor bisa jadi BACALEG , pemimpin yang sudah menodai kepercayaan rakyat bisa mewakili dan menjadi pemimpin,Dulu sempat ada larangan dari KPU,namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah . Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh BACALEG tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.
Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli , dimanipulasi yang penting ada uang.
Uang adalah penguasa di sistem demokrasi, seorang koruptor pun bisa jadi pemimpin kembali asalkan dia punya uang karena itu kekuasaan menjadi ajang rebutan.
Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.
Sistem hukum dalam islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus)
Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan.
Khusus untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka mendapatkan harta di luar gaji/pendapatan mereka dari negara. Itulah yang disebut sebagai kekayaan gelap menurut pandangan Islam.
Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil, atau membatalkan hak orang, atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi saw. telah melaknat para pelaku suap, baik yang menerima maupun yang memberi suap:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Nabi saw. pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya. Beliau bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).
Dalam hadis lain beliau bersabda:
هَدَايَا الأُمَرَاءِ غُلُولٌ
Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan (HR al-Baihaqi).
Termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat menurut Islam adalah yang didapatkan dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Komisi sebenarnya adalah hal yang halal dalam muamalah.
Namun, jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya atau kekuasaannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis, atau ia mendapatkan komisi dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram.
Sayangnya, dalam dunia bisnis kapitalis, seperti sudah menjadi kemestian jika pengusaha harus memberikan komisi sebagai upeti kepada para pejabat agar mereka mendapatkan proyek atau ketika dana proyek sudah cair.
Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi termasuk tindakan kha’in (pengkhianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya,apakah itu harta milik negara, milik umum, atau milik orang lain.
Sistem demokrasi kapitalis tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang jujur dan amanah karena dalam sistem demokrasi kapitalis aturan yang digunakan adalah aturan manusia yang dengan mudah bisa dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang.
Untuk melahirkan pemimpin yang amanah maka diperlukan sistem yang benar yaitu sistem buatan Allah SWT yang maha benar,maha mengetahui dan maha mengatur.
Tags
Opini