Oleh: Rinica M
Suhu perpolitikan semakin meningkat mendekati 2024. Aktivitas berbau politik kian santer. Mulai dari pencalonan, pembentukan koalisi, hingga urusan banner kampanye pun telah menghangatkan atmosfer masyarakat. Namun semua itu masih menyisakan tanya: apakah kenaikan suhu politik ini akan berkorelasi positif pada perbaikan global selanjutya? Ataukah mewarisi ‘rutinitas’ lima tahunan sebelumnya?
Umat Islam di negeri ini adalah umat mayoritas. Tahun 2022, berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia sebanyak 277,75 juta jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, 241,7 juta penduduk Indonesia (87,02% )memeluk Islam. Dengan jumlah yang mayoritas tersebut, tidak aneh jika umat Islam selalu didekati oleh para peserta Pemilu untuk mendapatkan dukungan suara.
Memang, kesadaran politik umat cenderung mulai meningkat. Buktinya mereka berusaha mengusung sosok beragama Islam, dan dikenal dekat juga dengan umat Islam. Di Pemilu 2019 misalnya, umat ramai mengusung figur yang dianggap pro kepada umat Islam. Bahkan ada sebagian umat Islam yang rela menyumbangkan hartanya untuk suksesi Pemilu tersebut, dengan harapan sosok yang mereka dukung akan menang. Namun, sayangnya kesadaran politik ini belum diikuti dengan pemahaman yang benar terkait apa itu keberhasilan politik umat. Pemahaman yang umumnya masih melekat adalah sebatas bahwa jika sosok yang pro Islam itu menang, artinya adalah kemenangan politik umat, kemenangan umat Islam. Padahal total ukur suatu keberhasilan politik umat itu adalah saat sampainya Islam pada kekuasaan, bukan hanya sekadar berkuasanya orang Islam.
Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa tidak cukup hanya dengan sampainya orang Islam pada kekuasaan, namun Islamnya juga harus sampai pada kekuasaan tersebut. Jika hanya orang Islamnya saja yang berada di kekuasaan, ia akan memimpin berdasarkan sistem kepemimpinan yang telah ada. Sehingga kekuasaannya tidak bisa digunakan untuk menerapkan Islam, juga tidak berpihak kepada umat. Sebabnya, memang di dalam Islam kekuasaan adalah metode untuk menerapkan Islam. Tanpa adanya kekuasaan, banyak sekali terjadi pelanggaran terhadap apa-apa yang sudah dilarang. Padahal larangan tersebut telah ada di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Mengapa semua ini terjadi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim? Tidak lain karena tidak ada kekuasaan yang mencegah pelanggaran dengan penerapan keduanya.
Kendati umat Islam adalah mayoritas, dan perjalanan kesadaran politik umat sudah dipaparkan sebagaimana penjelasan di atas, nyatanya belum berhasil meraih kekuasaan yang mampu menerapkan Islam dan berpihak pada Islam. Di antara penyebabnya:
Umat masih sebatas menjadi objek, bukan subjek politik. Artinya, umat ini bukan sebagai pelaku utama dalam aktivitas politik untuk meraih kekuasaan, namun hanya sebatas umat yang suaranya diinginkan. Setelah kekuasaan diraih, umat akan ditinggalkan oleh mereka. Inilah yang harus disadari oleh umat Islam seluruhnya.
Islam politik masih sekadar simbol. Sebagian umat Islam misalnya, memberikan dukungan politiknya kepada pihak-pihak yang mereka nilai dekat dengan Islam.
Parpol kurang menggenggam idealisme sesungguhnya. Banyak yang mengaku sebagai partai Islam malah tidak menggenggam idealismenya. Bersikap pragmatis. Misalnya berkoalisi dengan partai politik yang sekuler, berkampanye dengan melanggar syariah Islam, berpartisipasi dengan pemerintah yang sekuler, dll.
Ada tekanan politik, yang menyebabkan umat tidak berani menampakan identitas politik Islam karena khawatir dengan stigma negatif terkait larangan politik identitas.
Salah fokus personal politik, yakni sosok yang akan menjadi pemimpin. Padahal seharusnya fokus umat tidak hanya memilih sosok pemimpin yang amanah, yang sesuai dengan visi-misi politik umat, namun juga fokus pada perubahan sistem kepemimpinan.
Terperangkap pesta dan propaganda demokrasi. Akibat dari belum adanya kesadaran secara utuh terkait hakikat perubahan, maka saat berlangsung Pemilu sebagai bagian dari pesta demokrasi, umat pun ikut. Apalagi pada tahun politik menjelang Pemilu senantiasa disampaikan propaganda: “satu suara Anda sangat menentukan”.
Partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisir. Para anggotanya memiliki nilai, orientasi serta cita-cita yang sama dengan tujuan agar dapat memperoleh kekuasaan politik serta merebut kedudukan politik. Biasanya partai politik akan berusaha meraih tujuannya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka.
Sayangnya, partai politik kini justru banyak mengalami degradasi dalam hal-hal seperti itu. Hal ini berdampak pada kegagalan mengintegrasikan anggota-anggotanya menjadi satu entitas, apalagi meyakini ideologi yang dianut. Akhirnya, parpol bukan membentuk kelompok, tetapi sekadar kerumunan politik. Keluar-masuk anggota, terbelah atau anggotanya beramai-ramai keluar lalu mendirikan parpol baru, atau menyeberang ke partai penguasa. Lebih parah, tidak sedikit elit parpol yang terjerat kasus korupsi. Tidak aneh jika tingkat kepercayaan publik pada parpol terus merosot.
Oleh karena itu, saatnya partai politik Islam bersama umat merekonstruksi sikap politik Islam yang lurus. Setiap Muslim harus memiliki kesadaran politik yang benar dan harus mengingat bahwa satu-satunya perubahan yang dituju adalah menuju Islam dengan metode perjuangan yang juga sesuai Islam. Selanjutnya umat perlu membangun loyalitas hanya pada Islam dan memperjuangkan hak-hak kaum Muslim sebagaimana teladan Nabi.
Ketika Nabi saw. diutus di Makkah, beliau menghadapi realitas masyarakat Jahiliyah, yang pemikiran, perasaan dan sistem yang diterapkan di dalam kehidupannya sangat rendah. Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan mulia syariah Islam tersebut, Nabi saw. melakukan dakwah. Dakwah yang beliau lakukan adalah dakwah pemikiran dan politik. Dalam konteks ini, Nabi saw. bisa dianggap sebagai sel pertama dakwah pemikiran dan politik ini. Setelah Allah memerintahkan mereka untuk melakukan dakwah secara terbuka, Nabi saw. pun melakukan unjuk diri, memperkenalkan kelompok, yang kemudian menjadi partai politik, kepada publik. Aktivitas ini disebut sebagai interaksi dengan masyarakat secara sempurna. Mereka telah menjelma menjadi partai ideologis, bukan partai pragmatis, apalagi oportunis.
Partai ini menjadi ujung tombak yang digunakan oleh Nabi saw. dan para Sahabat melebur pemikiran dan perasaan masyarakat Jahiliyah yang rendah, rusak dan kotor saat itu sehingga menjadi pemikiran dan perasaan Islam, yang tinggi, bagus dan bersih. Konsekuensi dari aktivitas peleburan ini, terjadilah gesekan pemikiran dan perasaan yang luar biasa, antara partai ini dengan masyarakat. Semuanya ini merupakan aktivitas politik Nabi saw. dan para Sahabat hingga berdiri, aktivitas ini berhasil dilakukan dengan mengintegrasikan dua aktivitas, yaitu pemikiran dan politik. Hasilnya terbukti Islam berhasil diterapkan secara kaaffah.
Alhasil, yang harus dilakukan oleh umat Islam agar bisa meraih keberhasilan dalam politik umat, adalah dengan fokus pada perjuangan Islam kaaffah. Caranya dengan terus melakukan dakwah di tengah-tengah umat, memberikan penyadaran, bahwa perubahan hakiki hanyalah akan terwujud saat diatur dengan Islam, yang dilakukan oleh sosok pemimpin yang amanah dan di dalam suatu sistem yang juga baik. Sistem yang baik adalah yang bersumber dari Zat Yang Mahabaik, yakni sistem Islam. [dirangkum dan diolah dari berbagai sumber].
Sumber gambar: nasional.sindonews.com
Tags
Politik