Oleh: U Diar
Narasi politik dan agama menjadi riuh menjelang semakin dekatnya masa pemilihan. Tak sedikit tudingan politisasi agama dilayangkan pada kandidat tertentu. Bahkan muncul pendapat yang mengatakan agar masyarakat jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk meraih kemenangan.
Sayangnya agama yang dimaksud tidak diperjelas agama apa. Hanya saja dari pendapat lanjutannya dikaitkan dengan bahasan Islam seharusnya ditebarkan sebagai rahmat untuk semesta alam, bukan rahmatan lil islami saja. Maka diduga alamat berkaitan dengan politisasi agama ini mungkin dialamatkan pada Islam.
Tak sedikit yang kemudian terbawa pandangan jangan membawa agama dalam politik atau jangan ngomong politik jika membahas soal agama. Padahal yang semestinya dicap mempolitisasi agama itu adalah mereka yang mendadak islam menjelang pemilihan. Mendadak berbusana Islam, mendadak rajin ke pesantren, mendadak kunjungan ke tokoh agama, dll meskipun dalam kebiasaannya mereka cenderung berkebalikan dengan citra yang mendadak islami tersebut.
Lebih jauh, memang sebenarnya tidak ada yang keliru jika dikatakan Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, tidak ada tendensi negatif seharusnya.
Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang ajaran Islam, yakni akidah dan syariatnya menjamin datangnya rahmat bagi semua makhluk. Syaikh Nawawi al Bantani dalam Maraah Al Labiid (2/63) menerangkan: "Tidaklah Kami mengutus Engkau wahai sebaik-baik makhluk dengan membawa ajaran-ajaran syariahNya kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam seluruhnya, bagi agama ini dan kehidupan dunia."
Jadi Islam memang sebenarnya memberikan perlakuan adil bagi manusia, tanpa memandang apa agamanya. Bahkan perlakuan baik kepada selain muslim pun tersaji hingga di masa kejayaan Islam sampai di Andalusia. Negeri yang kini berada di wilayah Spanyol tersebut di masa Islam dahulu populer dengan julukannya sebagai negeri tiga agama. Yakni Islam, Yahudi, dan Nashrani. Semuanya hidup dengan damai dan rukun berdampingan, kendati di masa tersebut aturan Islam lah yang berlaku di kehidupan umum.
Maka sungguh ironi jika kemudian ada stigma terhadap Islam dari sisi rahmatan lil alaminnya.
Bukankah tidak berlebihan jika kemudian pandangan miring tersebut justru mengisyaratkan adanya islamofobia? Maka sangat tidak tepat bila untuk mendukung kandidat tertentu dan merendahkan kandidat yang lainnya dilakukan dengan cara buruk sangka pada Islam. Karena urusan kepemimpinan sendiri pada hakikatnya hanya akan menimbulkan penyesalan jikalau tidak dipandu dan diatur di atas rel Islam yang kebenarannya berasal dari Zat Yang Maha Hebat.
Nabi memperingatkan bahwa perebutan kepemimpinan dan kekuasaan melalui sabdanya: "Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak (HR. al Bukhari, an Nasai, dan Ahmad).
Jikalau urusan politik tidak memakai Islam, dikhawatirkan tidak dapat menjalankan amanah sebagaimana yang Allah ridhoi. Akibatnya sesal di kemudian hari, sebagaimana yang tersirat dalam sabdanya: "Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang mengatur rakyat, lalu mati, dan di hari ketika mati dia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan untuk dirinya surga (HR. Al Bukhari).
Maka mempolitisasi agama bukan tuduhan yang pas jika ditujukan pada mereka yang bermaksud menjadikan agama Islam sebagai tujuan yang hendak dibawa sampai pada kekuasaan. Yakni ditarik sampai puncak kepemimpinan untuk kemudian dijadikan asas dalam menjalankan peran kepemimpinannya. Diberlakukan dalam setiap aturannya.
Maka kemungkinan dapat dikatakan mempolitisasi agama itu jika hanya sebatas dijadikan simbol fisik saat mencari dukungan agar suara umat Islam condong padannya atau dikatakan mempolitisasi itu jika malah menuduh Islam dengan citra negatif demi memuluskan jalan kesuksesannya, bukankah begitu?[]
Sumber gambar: gramedia.com