Oleh : Sri Cahya Nurani, S. Kom.
(Aktivis Muslimah Kota Lubuklinggau)
Kasus Kekerasan seksual kembali terjadi. Tentu ini menyisakan trauma yang luar biasa. Kasus kekerasan terhadap anak di Kota Lubuklinggau patut menjadi perhatian. Pasalnya dibandingkan dari tahun lalu, jumlah kasus kekerasan anak alami peningkatan. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Lubuklinggau, tahun 2021 ada 25 anak di Lubuklinggau yang menjadi korban kekerasan. 2022 alami peningkatan, ada 30 anak yang menjadi korban kekerasan. Dari dua tahun terakhir, ada 37 anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Meminimalisir kasus kekerasan terhadap anak, pihaknya selalu tekankan perlu adanya pemantauan dari orangtua atau keluarga. Pola asuh keluarga ditanamkan sejak dini, kemudian diajarkan pendidikan dan agamanya.
Dari data yang tercatat tersebut tentu setiap tahun mengalami peningkatan yang sungguh miris jika ini terjadi setiap tahun nya. Terlebih ini kasus privat yang tidak semua orang akan melaporkan. Ditambah dengan kasus yang baru baru ini terjadi dilakukan oleh salah satu anggota ASN di Musi Rawas SB alias Bagol yang merudapaksa bocah 4 tahun saat menonton lomba tujuh belasan di dekat rumahnya kini ditahan Sat Reskrim Polres Musi Rawas. Aksi bejat dilakukan tersangka pada Minggu (13/8/2023) sekira pukul 14.00 Wib di rumah pelaku yang beralamat di Dusun IV Desa R Rejosari Kecamatan Purwodadi. (Tribunnews, 16/8/3/23).
Sungguh miris, apalagi kasus ini kerap kali terjadi pada mereka yang menjadi pelaku justru yang berpendidikan. Dimana moral kebiadaban selalu berulah di sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Pemberitaan macam ini sungguh menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan lagi bahwa tidak dicantumkan pelaku-pelaku ini dengan label pedofilia yang membuat masyarakat tidak sadar bahwa perilaku cabul ini bukan hanya sekedar dari nafsu yang tak terbendung, melainkan kelainan dan penyakit. Bahwa Masyarakat harus tau anak-anak kita tidak aman dari predator Bernama fedofilia, gay, lesbi, transgender, dan lain-lain yang sangat meresahkan.
Bahkan dengan beraninya pihak keluarga meminta damai dan menjanjikan hadiah dibiayai sekolah sampai lulus kuliah kepada pihak keluarga korban tanpa rasa bersalah sedikitpun, hal ini membuktikan betapa murahnya hukum di negri ini, bahwa hukum bisa dibeli dengan uang, dan degradasi moral yang kian parah. Tak heran di sistem kini yang serba tawar menawar tak mengindahkan para pelaku untuk takut terhadap hukum. Negara membiarkan pelaku kejahatan ini hidup, dan malah memberi makan mereka dengan dana yang diambil dari rakyat, dipelihara penjahat seperti ini.
Seolah tak ada nilai dari sebuah perbuatan.
Selama masih terpelihara sistem sekularisme, maka akan semakin bebas tindak kejahatan yang tak bermoral kian terjadi dan sanksi hukum tidak akan memberikan ketegasan yang berarti bagi para pelaku dan hanya berefek sesaat. Sehingga lebih merasakan kenikmatan duniawi. Wajar saja, pemahaman islam tak lagi menjadi wejangan menu sehari hari yang harus ditanam kan kepada umat. Karena ketiadaan fasilitas negara yang mampu memperkokoh. Sebaliknya fasilitas yang ada justru menambah kebobrokan moral.
Bagaimana tidak, efek kekerasan seksual tak hanya melukai fisik anak, tetapi juga menyakiti batinnya. Trauma akibat kekerasan seksual akan terus ada hingga masa dewasa. Tak hanya itu, anak-anak korban pedofilia seperti sodomi cenderung akan menjadi pelaku ketika dewasa. Lingkaran setan akan terus terjadi, korban akan menjadi pelaku saat dewasa dan mencari mangsa dari kalangan anak-anak, seterusnya begitu.
Trauma anak akan makin berkepanjangan ketika pelaku kekerasan adalah orang dekat. Faktanya, sekitar 90% pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah orang-orang yang mereka kenal dan memiliki hubungan dekat. Para pelaku itu bisa anggota keluarga, saudara, tetangga, atau pendidik.
Harusnya orang orang terdekat tersebut bertanggung jawab memastikan bahwa anak - anak memiliki hubungan dan lingkungan yang aman, stabil dan terpelihara. Tidak cukup dengan dikatakan bahwa dengan pantauan orang tua saja, bahkan yang katanya harus ditanamkan agama sejak dini justru kurikulum pendidikan sendiri yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Sehingga sekularisme memberikan jebakan yang mengantarkan pada kerusakan yang sangat besar dalam kehidupan.
Abainya negara akibat tata kehidupan yang demikian bebas. Inilah konsekuensi yang harus rakyat Indonesia tanggung ketika menghabiskan diri menjadi demokrasi sekularisme. Kejahatan seksual yang demikian berbahaya dibiarkan mengancam kehormatan dan keamanan anak-anak kita. Pelakunya malah mendapatkan hak-hak yang lebih terasa sebagai fasilitas. Pelaku juga justru mendapatkan puja-puji yang akan membuat korban makin sulit pulih.
Sistem Islam Solusi Mendasar
Hal utama yang mendasar yang butuh kita lakukan adalah mengganti dari sistem hidup liberal yang mengumbar seksualitas menjadi sistem Islam yang menjaga kehormatan manusia. Setiap rangsangan terhadap seksualitas harus hilang dari media massa, baik tulisan, gambar, maupun video. Hal ini akan meminimalkan dorongan seksual sehingga mencegah terjadinya kejahatan.
Begitu pun sistem pendidikan Islam, kerusakan kepribadian (syakhshiyah) akan dapat dicegah. Adanya sistem pendidikan Islam, setiap individu akan beriman, bertakwa, berakhlak mulia, menghormati orang lain, dan saling mengingatkan agar senantiasa tetap dalam ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, masyarakat akan terjaga kehormatan dan kemuliaannya. Kehidupan yang tenang dan aman terwujud nyata dalam sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan.
Sistem Islam yakni Khilafah akan memudahkan prosedur penyaluran naluri seksual secara halal, yakni melalui pernikahan. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk menyalurkan secara haram, baik dengan zina suka sama suka, maupun dengan kekerasan. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kejahatan seksual. Allah SWT berfirman, “… Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi.” (QS. An-Nur : 33)
Penentuan hukuman terhadap pelaku adalah berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari wahyu, bukan produk demokrasi yang sarat kepentingan korporasi. Syariat Islam bebas dari kepentingan karena bersumber dari Sang Pencipta. Hasil dari penerapan syariat adalah perlindungan terhadap tubuh, nyawa, dan kehormatan manusia, termasuk anak-anak.
Pelaku kejahatan seksual akan mendapat hukuman berdasarkan fakta perbuatannya. Perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Jika perbuatan pelaku adalah berzina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina yaitu rajam jika sudah muhshan (menikah) atau cambuk seratus kali jika bukan muhshan.
2. Jika perbuatan pelaku adalah liwath (homoseksual), hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.
3. Jika perbuatan pelaku adalah pelecehan seksual (at-taharusy al-jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya takzir. (Abdurrahman al-Maliki. Nizhamul ‘Uqubat)
Sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual ini akan menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun orang lain. Oleh karenanya, motif untuk berbuat yang sama tidak akan muncul. Kejahatan seksual akan bisa tertekan seminim mungkin.
Tentu ini adalah kehidupan yang semua ana inginkan. Sebuah kehidupan yang aman sehingga anak-anak bisa memintal masa depan nan cerah sebagai pengisi peradaban gemilang. Kehidupan ini akan mewujud nyata hanya dalam sistem Khilafah.
Wallahu A'lam bishshawwab
Tags
Opini