Oleh : Andini
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi dalam pileg 2024 mendatang. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, 12 nama caleg tersebut hasil temuan dari daftar calon sementara (DCS) yang dirilis 19 Agustus 2023. ICW juga menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka.
“Jika nanti akhirnya nanti, para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil,” kata Kurnia menegaskan. (voaindonesia.com, 26/08/2023)
Terkait hal ini, Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan, dalam membuat aturan penyelenggaraan pemilu, pihaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Yaitu adanya beberapa pasal yang memuat tentang hak memilih dan dipilih.
Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Polemik ini tentu mengingatkan kita pada pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif yang dulu juga pernah ramai menjelang Pemilu 2019. Saat itu, KPU melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Mengejutkannya, peraturan tersebut digugat oleh sejumlah pihak, yang tidak lain dan tidak bukan adalah para mantan napi korupsi itu sendiri. Akhirnya aturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu (14/9/2018). Aneh tapi nyata.
Begitulah balada hipokrisi demokrasi. Jargonnya pemilu itu luberjurdil, kenyataannya malah jadi pagelaran karpet merah untuk caleg redflag yang mempunyai modal. Bersih, jujur dan adil dibungkam oleh nominal. Rakyat telah kehilangan pemimpin-pemimpin yang amanah dan adil dalam mengurusi urusannya.
Terlibatnya para mantan narapidana di pesta demokrasi kali ini menampakkan pada kita bahwa dalih hak asasi manusia bisa kapan saja dan dimana saja digunakan untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak. Tujuannya demi bisa menduduki kursi jabatan. Padahal jadi wakil rakyat tanggung jawabnya berat, mengapa banyak peminat?
Tentu saja karena kita hidup di tengah-tengah sistem sekulerisme demokrasi. Tidak heran jika politik kita hari ini sangat jauh dari nilai-nilai agama. Karena akidahnya sendiri adalah memisahkan agama dari kehidupan. Politik dalam sistem ini hanyalah sarana meraih kekuasaan dan keuntungan.
Berbeda dengan sistem Islam, yang memandang bahwa politik adalah mengurusi urusan umat. Islam juga menegaskan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanah yang berat pertanggung jawabannya, bahkan sahabat Rasulullah saw. yakni Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu tidak terlihat gembira tatkala beliau diangkat menjadi seorang khalifah.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak serta melaksanakan tugas kewajibannya." (HR Muslim).
Maka wakil rakyat yang dirindukan umat, yang beriman, bertakwa, mampu amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat hanya akan hadir di tengah-tengah sistem yang baik, sistem yang hukum-hukumnya tidak bisa diubah oleh tangan-tangan manusia dengan dalih hak asasi ataupun yang lainnya. Itulah sistem Islam. Wallahu a'lam bisshawwab.
Tags
Opini