Lagi-lagi Perihal Pungli!



Oleh : Kai-Zhen



Dugaan Pungli di Pasar Tradisional

Kejaksaan Negeri Blora telah menetapkan tiga tersangka terkait kasus dugaan pungli dengan modus jual beli kios Pasar Randublatung, Kabupaten Blora. Kasi Intel Kejari Blora, Jatmiko mengungkapkan para tersangka tersebut antara lain Mantan Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UKM. Lalu Mantan UPTD Pasar wilayah IV Randublatung dan Bendaraha Pasar Randiblatung. "M (Mantan KadindakopUKM), W (Mantan kepala UPTD Pasar wilayah IV Randublatung) dan ZA (Bendahara pasar Randublantung)," ucap Jatmiko kepada Kompas.com, Senin (7/8/2023).

Menukar Rupiah untuk Memperoleh Hak

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum telah mengaturnya salah satunya terdapat dalam konstitusi yakni dalam pasal 27 ayat (2) bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.". Selain itu dalam pemenuhannya negara memiliki kewajiban sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (4), "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".  

Prinsip kebersamaan dengan efisiensi keadilan yang diamanatkan oleh konstitusi ternyata kontradiktif dengan kenyataanya di lapangan. Kios pasar yang boleh dimiliki setelah terjadi transaksi adalah salah satu contoh bahwa pasal 33 ayat (4) belum sampai di pasar. Pasar tradisional seharusnya menjadi penggerak ekonomi rakyat bukan malah menggemukkan ekonomi pejabat. Sayangnya kini segala hak rakyat seolah menjadi wajar diperjualbelikan oleh pejabat sehingga ada harga yang harus dibayar oleh rakyat hanya untuk memperoleh haknya. Sekali lagi hanya untuk memperoleh hak, sementara hak adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia dan pemenuhannya adalah sebuah kewajiban. Sehingga pemenuhan hak seharusnya terjadi secara alamiah tanpa ada penukaran rupiah sama-sekali. Sehingga negara sebagai penyelenggara ekonomi seharusnya memfasilitasinya demi tercapainya tujuan negara dalam mengentaskan rakyat dari jerat kemiskinan. Sehingga tidak seharusnya pungutan liar terjadi untuk pemilikan kios pasar dengan waktu yang ditentukan. Terlebih lagi, kondisi pasar Randublatung setelah pemugaran tahun 2019 menurut pendapat para pedagang tidak jauh lebih baik dengan kondisi yang tidak terlalu lebar sehingga mereka kesulitan menaruh barang agar mampu menarik pelanggan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pungli juga merupakan akronim ataupun singkatan dari kata pungutan liar yang berarti tindakan meminta sesuatu berupa uang dan lain sebagainya kepada seseorang, lembaga ataupun perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim. Pungli menjadi rahasia umum yang terjadi di tengah-tengah kita. Meskipun kita sama-sama menyadari bahwa hal itu bertentangan dengan norma-norma yang ada. Pada umumnya pungli yang dilakukan oleh oknum pejabat dapat terjadi bukan karena dorongan faktor ekonomi sebab secara materi tentunya telah terpenuhi melalui gaji.
 Penyalahgunaan wewenang ini dapat terjadi salah satunya karena lemahnya sistem pengawasan yang ada dalam setiap lembaga negara. Tapi jauh sebelum ada pengawasan dari manusia yang menjadikan seseorang memilih jalan instan memperoleh materi melalui cara pungli adalah karena tuntutan lingkungan yang erat dengan social media di mana fenomena flexing telah menjamur dengan kedok memotivasi oranglain. Gaya hidup hedon tersebut mempengaruhi teknik manajemen keuangan seseorang. Sehingga karena tekanan gaya hidup yang tidak mampu sepenuhnya ditopang melalui gaji maka seseorang memutar akalnya untuk memperoleh pendapatan di luar gajinya. Meskipun bada begitu banyak pilihan metode memperoleh pendapatan, namun pungli adalah metode yang instan dengan pengorbanan tenaga yang tak seberapa tapi mengorbankan integritas pada saat yang sama. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep pemikiran yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Dimana seolah-olah aturan agama hanya mengatur soal ibadah ritual saja. Sehingga semakin lempanglah jalan seseorang untuk memilih mencari pendapatan tambahan melalui cara pungli.

Tindakan pungli bisa saja memperoleh sanksi berdasarkan yakni pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana 1 tahun penjara atau denda setidaknya Rp 50 Juta. Namun pelaksanaan hukum yang longgar serta lentur terhadap nilai tukar menyebabkan aktivitas pungli bak jamur di musim hujan, akan terus tumbuh.

Social of Control Perihal Pungli

Sistem pemisahan agama dari keghidupan (sekuler) yang tidak mementingkan pengawasan Allah adalah meniscayakan pejabat untuk mengambil harta yang bukan haknya. Sebaliknya, ketakwaan individu adalah perkara yang mejadi standar pemilihan pejabat dalam sistem Islam. Untuk  melaksanakan amanah, pejabat/pegawai pemerintah diutamakan memiliki pemahaman  yang mampu menghubungkan antara tiap aktivitas manusia senantiasa diawasi oleh Allah serta akan dimintai pertanggungjawaban atas tiap kepemimpinannya di hari penghitungan amal kelak. 

Di sisi lain, masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam memiliki kesadaran yang penuh tentanguyrgensi dari social of control perkara mengingatkan dalam perihal takwa. Ini merupakan sebuah aktualisasi keimanan di mana setiap muslim diutamakan untuk senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga dalam hal ini tiap masyarakat memiliki hak untuk mengamati dan memberi penilaian atas kinerja pejabat supaya pelaksanaannya tetap berjalan dalam koridor syari’at.

Tidak kalah pentingnya adalah penerapan sanksi oleh negara. Kasus pungli tidak boleh dibiarkan menguar begitu saja. Ada proses hukum yang harus berjalan agar praktik ini tidak terulang. Pungutan liar dan praktik sejenisnya adalah tindakan memperoleh harta yang tidak dibenarkan syariat. 
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar rida di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29).

Terkait surah di atas, As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “Allah Swt. telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil dan mengategorikannya sebagai tindakan ghashab (menggasab/perampasan), pencurian, serta memperoleh harta melalui judi dan perolehan-perolehan yang tercela.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 300).
Ghashab, menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa. Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa dan tanpa alasan yang benar. Dalam praktiknya, ghashab tidak saja terjadi antarindividu, tetapi juga bisa negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang tidak sesuai syariat adalah kezaliman.

Ketakwaan individu akan membentuk seseorang menjalankan tiap amanah dengan penuh integritas. Namun ketakwaan individu ini butuh ruang dengan iklim yang sesuai yakni dalam binaan negara yang menjadikan syariat sebagai sumber hukumnya. Sehingga untuk membentuk ketakwaan individu tidak cukup jika syariat hanya dijadikan siraman rohani bagi para pejabat. Sebab keberadaan pungli itu sendiri bukan murni hanya kesalahan oknum saja, melainkan karena sistem sekuler-kapitalisme yang mendorong terjadinya tindak pidana tersebut. Sehingga yang perlu diperbaiki adalah sistem penggeraknya, dengan mengembalikan hakikat keadilan hanya berdasarkan Syariat saja. Sebab syariat berasal dari Allah, Sang Khaliq Wal Mudabbir Yang Maha Mengetahui setiap segala sesuatu yang terbaik untuk umat manusia.
Wallahu A’lam Bish Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak