Oleh: Ita Mumtaz
Pada tanggal 19 Agustus 2023 KPU telah mengumumkan daftar calon sementara Bacaleg (Bakal Calon Legislatif). Tak habis pikir, ternyata beberapa di antaranya adalah mantan narapidana korupsi anggota partai politik. Mereka mencalonkan diri dalam pemilu 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kasus ini sudah pernah menjadi pro kontra, bahkan sempat diatur dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018. Namun peraturan tersebut lantas dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dinyatakan melanggar Pasal 27 Ayat (1) dan pasal 28 ayat (3) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam pemerintahan. Selain itu juga dinyatakan tidak sesuai dengan UU Hak Asasi Manusia dan bertentangan dengan UU Pemilu.
UU Hak Asasi Manusia mengatur seputar hak warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara.
Anehnya, mengapa UU nya tidak direvisi ketika ada persoalan lain yang mendesak. Padahal semestinya penetapan UU itu demi kepentingan rakyat. Maka jika ada hal-hal yang merugikan rakyat dan negara harus segera diputuskan dan dibuatkan peraturan.
Revisi UU sebenarnya sudah biasa dilakukan jika semua itu demi kepentingan penguasa dan para pemilik modal. Namun untuk kali ini sepertinya tidak ada upaya sama sekali untuk manata ulang agar lebih baik. Padahal Peraturan KPU sendiri dalam nomor 20 Tahun 2018 menyatakan larangan pencalonan bagi mantan napi korupsi.
Fakta ini menunjukkan bahwa sejatinya para wakil rakyat tidaklah mewakili kepentingan rakyat. Dari awal pencalonan sudah membutuhkan modal besar dengan harapan akan membuahkan hasil yang lebih besar. Tentu saja keinginan tersebut mudah didapat ketika para wakil rakyat melewati cara instan. Jangankan memikirkan kepentingan rakyat yang belum pasti keuntungannya. Target utamanya adalah mengembalikan modal politik dari berbagai macam jalan. Belum lagi harus berpikir keras untuk menambah pendapatan yang telah diincarnya sejak awal.
Ketika ada RUU yang diajukan, maka penetapannya tak lagi pertimbangan kepentingan rakyat. Semua akan goal asal mendapat fee dari pihak pemesan UU.
Inilah fakta kebobrokan demokrasi dalam sistem kapitalisme sekulerisme. Atas nama kepentingan rakyat, keuntungan pribadi akan banyak dikeruk.
Fakta membuktikan bahwa mantap napi di negeri ini bukan malah bertaubat tapi justru semakin lihai menipu dan marampok. Karena memang sanksi diberikan tidak menimbulkan efek jera. Belum lagi jual beli perkara tak menjadi rahasia lagi. Maka wajar jika ada kekhawatiran kasus korupsi akan semakin menggila jika caleg napi korupsi tidak dilarang.
Ruang dan fasilitas di penjara pun bisa diatur sesuai pesanan. Wajar jika mereka tidak takut dengan sanksi penjara karena berbagai fasilitas bahkan layaknya di hotel akan didapatkan. Berbagai layanan mudah dan mewah serta berbagai sarana hiburan dan alat komunikasi membuat mereka betah berada di dalam sel VVIP.
Demikianlah, ketidakadilan telah dipertontonkan di depan rakyat. Pejabat sudah mati rasa dan tak ada perhatian dan keberpihakan sama sekali pada rakyat.
Dalam sistem demokrasi pemilik modal yang mampu mendikte lembaga negara, termasuk legislatif. Perannya utamamya sebagai wakil rakyat telah lumpuh. Karena wakil rakyat harus megutamakan kepentingan pribadi sendiri dan pihak-pihak yang mensponsori kampanyenya. Kepentingan rakyat hanya jargon untuk menutupi niat busuknya. Selama itu rakyat hanya menelan janji-janji manis yang diberikan.
Padahal wakil rakyat semestinya adalah pihak yang amanah dan berperan menyuarakan jeritan hati rakyat. Dalam sistem Islam ada majelis ummah yang merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol atau muhasabah. Wallahu’alam bish-shawab.
Tags
Opini