Oleh: Yane Agustina (Komunitas Dakwah Muslimah "Sahabat Humaira")
Jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023 kemenPPPA mencatat jumlah kekerasan anak mencapai 9.645 kasus, terdiri dari 8.615 kasus korban anak perempuan dan sebanyak 1.832 kasus korban anak laki-laki. Kasus kekerasan yang menimpa anak ada yang berupa kekerasan seksual anak (4.280 kasus), kekerasan fisik (3.152 kasus) dan kekerasan psikis (3.053 kasus). (https://www.metrotvnews.com,4/6/2023). Sedangkan berdasarkan usia anak, data dari laman kemenPPPA (https://kekerasan.kemenpppa.go.id) mencatat jumlah korban kekerasan terhadap anak sampai dengan akhir Agustus 2023, berjumlah 6461 anak (usia 13-17 tahun), 3745 orang anak (6-12 tahun), dan 1307 anak (0-5 tahun). Kesimpulannya, kekerasan terhadap anak menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga KemenPPPA Indra Gunawan mengatakan bahwa pencegahan terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga sebagai lembaga terkecil yang bisa melindungi anak-anak mereka dari kekerasan seksual. Peran keluarga –dikatakan oleh Indra—dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga terutama anak-anak serta membangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga. (https://www.idntimes.com,26/8/2023)
Keluarga memang memiliki peran yang mendasar dan besar dalam mencegah dan melindungi anak dari kekerasan seksual. Namun persoalan kekerasan anak –baik secara seksual, fisik ataupun psikis—sangat berkaitan dengan berbagai faktor di luar keluarga. Katakanlah keluarga sudah memberikan dasar keimanan dan pemahaman agama yang kuat pada anak-anaknya (pada faktanya keimanan dan pemahaman agama tidak lagi menjadi dasar keluarga ‘modern dan moderat’). Anak selanjutnya bersekolah di lembaga pendidikan yang sekuler kapitalistik, yang tidak menjadikan agama sebagai asas bagi pengaturan system pendidikannya. Orientasi Pendidikan lebih banyak diarahkan pada penyediaan tenaga kerja—baik tenaga kerja lapangan, buruh, sampai tenaga kerja profesional—yang bermuara pada kepentingan Perusahaan-perusahaan. Maka pondasi akidah Islam yang sudah dibangun dalam keluarga Islam, bisa jadi tidak nyambung dengan suasana Pendidikan dalam system kapitalisme. Apalagi dalam sistem ini moderasi sangat kencang diaruskan. Memberi peluang kepada anak untuk menentukan ‘keputusan dan langkahnya’ sendiri, dan orangtua harus ‘menghormatinya’ walaupun itu melanggar aturan agama.
Kekerasan terhadap anak diperparah dengan sistem pergaulan yang serba bebas dalam sistem sekuler ini. Aturan pergaulan Islam dianggap sebagai aturan-aturan ‘kuno dan kolot’ yang membatasi pergaulan. Pacaran menjadi hal yang lumrah, sementara yang berusaha menjaga dirinya dari kemaksiatan dengan tidak berpacaran dilabeli i ‘tidak laku’. Anak Perempuan yang dibiasakan menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dipandang sinis dengan disebut sebagai anak berbibit radikal, sementara anak perempuan yang membuka auratnya dipandang sebagai suatu kelumrahan. Padahal hal itu menjadi salah satu pintu terjadinya kekerasan seksual anak.
Sebab lain dari meningkatnya kekerasan pada anak adalah penegakkan hukum yang tidak setimpal untuk para pelakunya. Bayangkan saja, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya akan mendapatkan hukuman maksimal 15 tahun dan denda 5 milyar, seperti tercantum dalam Pasal 76D UU Perlindungan Anak. Padahal efek traumatis dan keguncangan jiwa anak bisa jadi berpengaruh pada seluruh kehidupannya berupa _Rape Trauma Syndrome (RTS)_ dan _Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)_. Anak yang menjadi korban kekerasan secara psikis akan mudah terkejut, cemas, mudah marah, dan merasa bersalah. Tidak hanya psikis, gangguan fisik seperti insomnia, mual, sakit kepala, radang sendi, nyeri panggul kronis, dan masalah pencernaan kerap menimpa anak korban kekerasan. (https://www.halodoc.com/ 24/8/2022)
Kekerasan terhadap anak akan dapat tuntas diselesaikan dengan tegaknya sistem Islam. Keluarga tetap berperan karena ia adalah pilar utamanya. Namun tentunya harus diiringi dengan menegakkan sistem Pendidikan, sistem sosial, dan sistem sanksi Islam, yang tegak mendasari sistem kehidupan. Sistem kehidupan Islam yang datang dari Sang Khaliq akan memperhatikan proses pembinaan keluarga sebagai pilar pembinaan Aqidah Islam anggota keluarga di tengah masyarakat yang didukung oleh pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam di sekolah, masjid, dan lingkungan sekitar. Ketakwaan individu ini akan menjadi ketakwaan kolektif masyarakat, yang memunculkan kontrol sosial yang mencegah terjadinya pelanggaran hukum di Tengah umat, termasuk kekerasan terhadap anak.
Negara yang menegakkan sistem Islam akan melakukan pengaturan informasi di tengah masyarakat agar umat tidak mendapatkan informasi yang merusak akidah dan kemuliaan akhlaknya seperti konten pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme dan lain-lain.
Faktor terpenting lainnya yang akan mencegah kekerasan terhadap anak adalah penegakkan system sanksi yang tegas dan bersumber dari Ilahi. Sistem sanksi Islam akan menghukum tegas para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pelaku rudapaksa akan mendapat 100 kali cambuk (bila belum menikah) dan hukuman rajam (bila sudah menikah). Pelaku sodomi akan mendapat ancaman dibunuh. Dan jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina. (Abdurrahman al-Maliki. 1990. hlm. 214—238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan tindakan. Sistem sanksi Islam akan dapat ditegakkan jika negeri ini melandaskan pengaturan kehidupannya berdasarkan Islam.
Karenanya, penyelesaian kekerasan terhadap anak dapat dituntaskan jika sistem Islam tegak. Dengannya, Aqidah Islam akan menjadi pondasi, masyarakat akan melakukan kontrol sosial dan penerapan hukum Islam secara utuh dapat ditegakkan guna menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan terhadap anak. Anak-anak dapat tumbuh berkembang dalam lingkungan yang aman dan akan terlahir generasi terbaik umat, calon pemimpin, pejuang, pemegang estafet kepemimpinan Islam berikutnya.