Oleh : Ade Irma
Mendekati Pemilu 2024 banyak berbagai narasi yang sesat dan menyesatkan. Sebagai contoh seperti yang diliput Republika, bahwa jelang tahun politik 2024, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Hanya saja, Gus Yaqut, sapaan akrabnya, tidak menyebut sama sekali siapa sosok yang dimaksud.
"Harus dicek betul. Pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah-belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih," kata Menag Yaqut di Garut, Jawa Barat, Ahad (3/9/2023).
Ungkapan Menag menyesatkan umat, dan membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik.
Namun kalau kita cermati, sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak.
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dll. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih.
Dalam Islam politik adalah bagaimana memelihara urusan rakyat. Politik mengurus rakyat itu adalah tugas para nabi dan dilanjutkan menjadi tugas setiap khalifah, pejabat dan pemimpin masyarakat pasca Nabi saw. Karena itu, Islam menggariskan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan rakyat. Nabi saw. bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin yang menangani urusan masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pemimpin, termasuk para pejabat dan politisi, seperti diungkapkan Nabi saw. di atas, bertanggung jawab mengurusi urusan dan kepentingan rakyat laksana seorang penggembala mengurusi gembalaannya. Karena itu, tugas pemimpin itu adalah merealisasikan kemaslahatan bagi rakyat dan menolak kemadaratan dari mereka; bukan mengedepankan kepentingannya sendiri, kelompoknya atau pemilik modal, apalagi pihak asing.
Sebagai agama paripurna, ketika mensyariatkan bahwa kepemimpinan dan jabatan adalah demi mengurusi urusan dan kemaslahatan rakyat, Islam juga memberikan serangkaian hukum yang harus dijadikan panduan dan dipegang teguh untuk merealisasikan sekaligus menjamin terpeliharanya kepentingan rakyat itu. Semua itu terangkum dalam sistem syariah baik di bidang pemerintahan seperti kewajiban muhasabah (kontrol), hukum-hukum pemerintahan, dsb; di bidang ekonomi mulai hukum tentang kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan itu, hukum-hukum tentang moneter, hukum-hukum tentang Baitul Mal, dsb; maupun dalam bidang sosial, kebudayaan, politik luar negeri dan sebagainya.
Islam tidak membiarkan pembuatan hukum dan aturan diserahkan kepada manusia sehingga menjadi komoditi tawar-menawar berdasarkan kepentingan. Islam telah menetapkan hukum-hukum pengelolaan negara dan urusan masyarakat yang harus dijadikan pandungan dan dipedomani oleh setiap penguasa, pejabat, pemimpin dan selurun rakyat. Untuk menjamin pelaksanaan hukum-hukum itu secara baik, Islam menetapkan muhasabah (kontrol/koreksi) terhadap penguasa sebagai kewajiban bagi masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Islam memberikan ruang yang sedemikian luas bagi semua itu sebagaimana bisa dilihat dalam hukum-hukum politik dan pemerintahan Islam secara rinci.
Begitulah aturan Islam yang sangat sistematis dalam mengatur berbagai urusan. Bukan hanya urusan ibadah Mahdah. Tapi Islam juga mengatur dalam pemerintahan serta kepemimpinan. Maka Islam dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sudah selayaknya umat Islam kembali kepada aturan sang pencipta yaitu Allah SWT.
Wallahu'alam bis ash shawab.
Tags
Opini