Oleh: Imas Sukirno
Terpantau harga beras terus merangkak naik secara signifikan. Dari catatan Panel Badan Pangan, harga beras medium sudah mencapai 12.110 per kg. Bahkan Badan Pangan PBB alias Food and Agriculture Organization (FAO) khawatir harga beras yang naik mencapai level tertinggi dalam 12 tahun bakal memicu lonjakan inflasi pangan di Asia.
Banyak hal yang menjadi pemicunya. FAO mengidentifikasi yang menjadi penyebabnya adalah adanya larangan ekspor di India dan ancaman cuaca buruk El Nino. Sementara itu, pengamat pertanian Khudori mengungkapkan bahwa kenaikan harga beras adalah siklus normal, dimana harga beras atau gabah tinggi saat di musim gadu (Juni-September), dibandingkan saat musim panen raya. Selain itu, penyebabnya adalah perkiraan produksi beras yang menurun, factor El Nino, juga efek dinamika global yang tercermin dari kebijakan Negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif, misalnya larangan ekspor di India.
Lain halnya dengan Balai Proteksi TPH Provinsi Jawa Timur mengklarifikasi, penyebab kenaikan harga beras adalah dikarenakan gagal panen. Namun hal ini disanggah oleh kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Provinsi Jawa Timur, Rudi mengungkapkan bahwa faktor kenaikan harga beras bukan karena gagal panen, melainkan kenaikan biaya produksi serta dampak dari El Nino.
Lemahnya ketahanan pangan akibat Negara disetir korporasi di sistem kapitalisme. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi pemicu kenaikan harga beras yang kian melambung tinggi ini? Pada faktanya, produksi beras tidaklah menurun, sebaliknya, mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada tahun 2022 ini mengalami kenaikan 2,29%. Namun harga beras juga terus meroket. Hal ini dikarenakan biaya produksi yang mahal juga. Dari sewa lahan, harga benih, pupuk yang langka dan mahal, bahkan faktor tenaga.
Dalam biduk sistem kapitalisme, akan selalu ada pihak kuat yang mendominasi dan menjadi penentu sebuah kebijakan. Azas manfaat dan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya akan menjadi fokus utama dan menjadi tujuan para kapital. Proses distribusi yang panjang dan rumit mengakibatkan beras sampai ke tangan konsumen sudah dengan harga yang tinggi. Bahkan para pedagang besar mampu menjadi pengendali harga di pasaran. Bahkan para pengusaha swasta mengambil andil lebih banyak dalam pendistribusiannya. Sehingga kelangkaan pasokan bisa saja terjadi.
Hal ini menjadi cermin lemahnya kedaulatan dan ketahanan pangan Negara. Dalam hal ini, Negara yang seharusnya dengan powernya menjadi pengendali dalam ketahanan pangan, seakan lepas tangan. Justru memberikan ruang lebar bagi para korporasi untuk menguasai pengelolaannya. Walhasil, dalam kepengurusannya berfokus pada komersialisasi pribadi tanpa mempertimbangkan keadaan kebutuhan masyarakat. Negara hanya menjadi regulator, bahkan mengikuti arahan dari para korporasi.
Jaminan Kebutuhan Pokok dalam Islam
Dalam sistem Islam, segala pengurusan yang berhubungan dengan ummat (orang banyak) adalah menjadi tanggung jawab Negara. Dalam hal ini, dimana seharusnya seluruh katahanan pangan, kepengurusannya ditangani oleh Negara. Tentu saja diatur sedemikian rupa sesuai dengan hukum syariat yang tidak hanya berfokus pada salah satu kepentingan, melainkan untuk kepentingan bersama.
Beras adalah salah satu kebutuhan pokok ummat. Negara wajib memenuhinya dengan penuh kesadaran karena dorongan keimanan. Dengan adanya amanah untuk melayani ummat, maka dengan sepenuh hati, para jajaran kepemimpinan dalam sistem Islam akan berusaha memenuhi bahkan mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Menjaga kestabilan persediaan dan harga pangan di pasar. Memaksimalkan potensi alam dengan bijak dengan mekanisme yang sesuai dengan kriteria syariat. Mulai dari proses produksi, distribusi, hingga sampai ke tangan konsumen.
Islam memiliki mekanisme mewujudkannya secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam mekanisme Negara Islam, penimbunan dan monopoli kebijakan pengendalian harga tidak diperbolehkan. Pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan suplai sedimen, bukan dengan pematokan harga.
Dalam hal ekspor impor pun akan disesuaikan dengan kebutuhan. Ekspor akan dilakukan jika pasokan pangan dalam negeri sudah terpenuhi dan mengalami kelebihan. Demikian pula kebijakan impor akan dilakukan ketika kekurangan kebutuhan pangan. Dalam sistem perdagangan luar negeri, dalam kegiatannya harus mengikuti peraturan dalam Islam.
Untuk ketahanan pangan, untuk mendukung kegiatan produksi, Negara dalam Islam mestinya menyediakan lahan pertanian serta meminimalkan alih fungsi lahan. Kemudian meningkatkan kualitas benih, pupuk, metode pertanian, dan lain sebagainya. Dalam pendistribusiannya pun harus diperhatikan. Memenggal rantai pendistribusian agar biaya bisa diminimalisir. Dengan begitu, harga pun bias ditekan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengolah tanah yang mati (lahan gundul) dia mendapatkan pahala. Adapun yang dimakan oleh makhluk hidup bernilai sedekah baginya.”(HR. Al-Baihaqi)
Begitulah mekanismenya didalam sistem Islam. Segala kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan pihak tertentu saja, melainkan untuk kemaslahatan ummat. Jika ada pihak yang menyeleweng, maka sanksi akan dikenakan, agar tidak ada yang berbuat kecurangan. Maka pada kondisi ummat yang penuh keimanan dan ketakwaan dari hulu hingga ke hilir, ini hanya akan kita temukan pada Negara yang berlandaskan pada sistem Islam. Dan mustahil kita temukan dalam sistem kufur kapitalisme seperti saat ini. Wallahu’alam Bishshowaab.
Tags
Opini