Eksploitasi Anak kian Marak




Oleh: Siti Maisaroh 
(Pegiat Literasi)

Anak yang selayaknya mendapatkan perlindungan dan kenyamanan, tapi justru dijadikan objek untuk menghasilkan uang dengan cara instan. Bagaimana tidak? 

Semakin kesini, kasus eksploitasi anak makin mengerikan. Pada Kamis, 14-9-2023 lalu, Polda Metro Jaya menangkap seorang perempuan muda yang menjadi muncikari pada kasus prostitusi anak atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui media sosial. Korbannya adalah dua anak berumur 14 dan 15 tahun.

Keduanya mengaku melakukan prostitusi karena faktor ekonomi. Mereka mengenal pelaku dari pergaulan. Pelaku juga diduga melakukan eksploitasi secara seksual pada 21 anak lainnya yang mayoritas masih sekolah. Pelaku menawarkan prostitusi online melalui media sosial X (sebelumnya Twitter).

Dalam aksinya, pelaku mematok tarif Rp1,5 juta—Rp8 juta per anak per jam, sedangkan pelaku mendapat bagian sebesar 50%. Konon, pekerjaan haram ini telah ia lakukan sejak April lalu dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kasus ini terungkap melalui patroli siber oleh kepolisian. (Republika, 24-9- 2023).

Kasus ini mengingatkan publik pada kasus prostitusi anak yang terungkap di sebuah hotel di Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada 22 September tahun lalu. Seorang muncikari menawarkan jasa prostitusi online perempuan di bawah umur melalui aplikasi MiChat. Pelaku merekrut anak perempuan yang keluarganya broken home dan tidak mendapatkan perhatian dari orang tua. Melalui cara ini, pelaku mudah mencari korban. (Kompas, 25-9-2023).

Sementara itu, eksploitasi anak dengan modus lain juga terjadi. Di Medan, sebanyak 41 anak dieksploitasi oleh pengelola dua panti asuhan. Korban ada yang masih bayi dan ada pula yang sudah bersekolah SD dan SMP. Pelaku memanfaatkan anak-anak tersebut untuk mengemis melalui media sosial TikTok.

Pelaku melakukan siaran langsung (live) TikTok dengan konten anak-anak panti untuk mendapatkan tap dan gift (donasi) dari netizen. Tidak tanggung-tanggung, total donasi yang diperoleh mencapai Rp50 juta per bulan, baik dari dalam maupun luar negeri. (Detik, 23-9-2023). Dari donasi tersebut, pelaku bisa membeli sebidang tanah senilai Rp130 juta yang terletak di Deli Serdang. (Kompas, 24-9-2023).

Kedua panti yang tidak punya izin Dinsos tersebut diduga merupakan jejaring karena modus operasi mereka persis sama. Adapun anak-anak yang di panti, sebenarnya masih memiliki keluarga. Mereka dititipkan di panti tersebut. Kasus ini terungkap setelah ada netizen yang memviralkan aksi pelaku yang live TikTok saat menyiapkan bubur pada bayi yang masih berusia dua bulan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa anak Indonesia dalam kondisi tidak aman. Mereka menjadi target eksploitasi. Mereka dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan. Teknologi digital memudahkan pelaku untuk melakukan aksinya. Jutaan rupiah mengalir dengan mudah berkat anak-anak tersebut.

Sayangnya, anak-anak tersebut berada dalam lingkungan yang tidak aman. Tidak ada perlindungan dari orang tua, meski sebenarnya orang tuanya ada. Demikian juga dengan masyarakat sekitar, meski ada, mereka tidak berfungsi sehingga kasus eksploitasi anak tersebut terus terjadi selama berbulan-bulan dan baru terungkap saat ini.

Para pelaku tahu betul bahwa anak-anak tersebut adalah anak-anak yang jauh dari pengawas orang tua, jauh dari perhatian dan kurang kasih sayang. Sehingga mudah bagi para pelaku untuk menjadikan anak-anak malang tersebut sebagai korban tentunya dengan iming-iming akan diberikan uang. 

Parahnya lagi, jika anak-anak yang menjadi korban tersebut melakukannya dengan suka rela, karena mereka tidak sadar bahwa dirinya dieksploitasi, yang mereka tahu, mereka sedang bekerja dan akan mendapatkan imbalan. 

Dua kasus yang terungkap tersebut sebenarnya merupakan puncak gunung es saja. Di masyarakat dimungkinkan banyak praktik serupa, tetapi belum terungkap. Hal ini hendaknya menjadi alarm peringatan untuk kita para orang tua bahwa anak Indonesia rentan dieksploitasi.

Lepasnya peran orang tua dan masyarakat dalam melindungi anak ini merupakan konsekuensi penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan setiap orang, baik orang tua, keluarga, maupun masyarakat, sibuk mengejar materi hingga abai terhadap perlindungan anak. Kapitalisme pula yang membuat pelaku gelap mata hingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang.

Penerapan sistem sekuler kapitalisme oleh negara telah menjadikan negara sibuk dengan pembangunan infrastruktur nan megah dan berbagai proyek prestisius lainnya. Namun, negara lalai dari tanggung jawabnya untuk melindungi setiap individu rakyatnya, termasuk anak-anak. 

Negara mendefinisikan kemajuan adalah infrastruktur modern dan megah. Faktanya, di balik gemerlap infrastruktur yang hanya dinikmati segelintir elite itu, ada anak-anak yang diabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan sehingga menjadi korban eksploitasi. Alhasil, negara telah gagal melindungi anak-anak.

Ketika semua pihak yang seharusnya melindungi anak-anak, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara, tidak menjalankan fungsinya, anak-anak pun rentan menjadi korban eksploitasi, padahal mereka adalah masa depan negara ini. Jika sejak belia mereka telah dieksploitasi, bagaimana mereka bisa menjadi pilar peradaban nan gemilang pada masa depan?

Oleh karenanya, fungsi perlindungan terhadap anak ini harus ditegakkan. Caranya bukan sekadar membentuk kementerian dan komisi yang mengurusi perlindungan anak, tetapi butuh solusi sistemis, yaitu dengan mengganti sistem sekuler kapitalisme dengan sistem Islam yang bisa menjamin perlindungan anak.

Lain halnya dengan sistem Islam, dimana Islam memiliki mekanisme sistemis untuk melindungi anak.

Pertama, sistem pendidikan dalam negara Islam (Khilafah) berasaskan akidah Islam sehingga menghasilkan individu-individu rakyat yang beriman dan bertakwa. Hal ini akan mencegah adanya orang-orang yang melakukan pekerjaan haram, termasuk dengan mengeksploitasi anak-anak.

Kedua, Khilafah menerapkan syariat yang akan melindungi nyawa anak. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.  Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS Al An’am: 151).

Dengan demikian, tidak boleh ada pihak yang berbuat semena-mena terhadap anak. Misalnya mengeksploitasi, menelantarkan, dan sebagainya.

Ketiga, Khilafah menjamin pemenuhan hak-hak anak sejak masih dalam kandungan hingga ia dewasa. Misalnya, hak memperoleh air susu ibu (ASI), hak hidup, hak memperoleh pengasuhan dan kasih sayang, hak memperoleh nafkah berupa makanan bergizi, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, hak mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan dari negara, dan lainnya.

Keempat, Khilafah mewajibkan bekerja hanya pada laki-laki, sedangkan perempuan tidak wajib bekerja. Kewajiban bagi perempuan adalah melaksanakan fungsi ibu dan pengatur rumah. Mereka berada di rumah untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Jika si ibu tidak ada karena meninggal atau tidak bisa menjalankan perannya karena sakit, fungsi pengasuhan tetap harus terlaksana melalui jalur hadanah sesuai syariat.

Kelima, Khilafah akan mengatur media massa dan media sosial sehingga tidak melanggar hak-hak anak. Polisi akan melakukan patroli siber dengan intens sehingga bisa mengungkap kejahatan siber sedini mungkin, tidak menunggu netizen memviralkan.

Keenam, Khilafah melarang segala jenis prostitusi, termasuk pada anak-anak.

Ketujuh, Khilafah akan mengurusi anak-anak telantar sehingga bisa hidup layak. Mereka mendapatkan semua hak dan kebutuhannya secara gratis dari negara.

Kedelapan, Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan ekonomi sehingga orang tidak mengalami tekanan ekonomi yang bisa mendorongnya menjadi korban perdagangan orang.

Kesembilan, Khilafah akan memberikan sanksi tegas bagi setiap orang yang merampas hak-hak anak, termasuk orang yang mengeksploitasi dan memperdagangkan anak.

Kesepuluh, Khilafah akan mendorong masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.

Dengan semua mekanisme tersebut, Khilafah akan menjamin perlindungan anak sehingga anak-anak bisa hidup aman, terbebas dari segala macam eksploitasi. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak