Eks Terpidana Korupsi Ikut Kontestasi

 



Oleh Irohima

Ajang pemilihan umum tahun 2024 yang terdiri atas Pilpres, Pileg, dan Pilkada yang rencananya diadakan secara serentak akan menjadi ajang pertarungan para kandidat calon pengisi kursi di pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Berdasarkan undang-undang yang berlaku, setiap orang memiliki hak untuk mencalonkan diri menjadi petinggi negeri. Namun apa jadinya jika yang ikut kontestasi adalah mantan terpidana korupsi ?


Baru-baru ini ICW (Indonesian Corruption Watch) telah menemukan bakal calon legislatif atau bacaleg yang merupakan mantan terpidana korupsi sebanyak 15 orang dalam daftar nama-nama bacaleg yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 19 Agustus 2023. Bacaleg yang terdeteksi sebagai mantan terpidana kasus korupsi berasal dari berbagai partai dan mereka mencalonkan diri untuk pemilu di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (VOA, 28/8/2023 ).


Hal ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat korupsi merupakan kejahatan besar namun mantan terpidana korupsi masih diapresiasi dengan memberi mereka peluang untuk kembali meraih kursi. Bukankah ini sangat riskan karena probabilitas untuk memilih calon yang bersih dan memiliki integritas akan semakin kecil. Kurnia Ramadhan, seorang peneliti ICW juga menyayangkan sikap KPU yang tidak transparan dan cenderung tertutup karena sampai saat ini KPU belum mengumumkan status hukum mereka. Padahal jika melihat pemilu 2019 yang lalu KPU bahkan terang-terangan mengumumkan status hukum caleg yang menyandang gelar mantan terpidana korupsi. 


Sikap KPU sekarang makin menunjukkan tidak adanya komitmen untuk menegakkan prinsip pemilu yang terbuka dan akuntabel serta sikap yang tidak tegas dalam memandang kasus korupsi.


Di sisi lain KPU menjelaskan bahwa pembuatan aturan penyelenggaraan pemilu selalu berpedoman pada undang-undang. Pasal 28 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, telah menerangkan tentang hak seseorang untuk dipilih. UU Nomor 39 tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih. Pada intinya, KPU tidak ada larangan bagi eks koruptor untuk ikut berkompetisi  pada tahun ini, mereka hanya perlu membuat keterangan bahwa mereka pernah dipenjara sebagai syarat administratif melalui media massa.

Adanya kebebasan bagi para  eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif, di satu sisi menunjukkan bahwa tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain juga menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki bacaleg, mengingat butuh modal yang sangat besar untuk menjadi caleg. Politik demokrasi meniscayakan biaya besar, tanpa dukungan modal, tidak akan bisa mencalonkan diri meski seseorang mungkin mempunyai integritas tinggi.


Kebolehan eks terpidana korupsi menimbulkan kontra di tengah masyarakat dan menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan praktik korupsi yang berulang sementara sistem hukum yang berlaku tidak menerapkan sanksi yang berat dan berefek jera bagi koruptor, fakta membuktikan bahwa mereka masih bebas melenggang bahkan masih bisa meraih kekuasaan.


Fenomena mantan pencuri uang rakyat tapi masih bisa menjadi wakil rakyat adalah hal yang benar-benar sangat sulit diterima oleh akal sehat. Tapi begitulah realita dalam sistem demokrasi. Pemilihan para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi amatlah mahal, Pemilu 2024 bahkan dikabarkan telah menyedot anggaran hingga Rp 76 triliun, bisa dibayangkan, kisaran biaya yang dibutuhkan para bacaleg untuk kegiatan promo terkait pemilu seperti biaya kampanye, baliho, rapat, dan lain sebagainya. Tentu saja kondisi ini akan menciptakan sebuah kompetisi memperebutkan kursi yang pada akhirnya dimenangkan oleh siapa saja yang memiliki modal besar termasuk eks terpidana korupsi. 


Besarnya biaya demokrasi hanya bisa dicover oleh para pemilik modal besar atau kapitalis. Tak peduli meski orang itu memiliki track record buruk dalam perjalanan hidupnya. Inilah cacatnya demokrasi, pemimpin yang amanah, berkapasitas dan berintegritas hanya akan jadi judul cerita di atas kertas.


Berbeda dengan Islam, karena dalam sistem Islam, pejabat negara seperti kepala negara dan anggota majelis umat akan langsung diangkat oleh rakyat, sementara pejabat lain setara menteri atau wakil rakyat semisal mu’awin, wali, amil, qadhi, dan sebagainya akan diangkat kepala negara atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara berdasarkan ketetapan syara.


Mekanisme ini tidak hanya mudah dan sederhana namun juga efisien dan murah karena tak perlu menelan biaya hingga triliunan. Pemerintah dalam Islam pun akan sangat selektif dalam memilih para pejabat wakil rakyat, selain memiliki kapasitas dan integritas, pejabat pemerintahan dalam sistem Islam haruslah memiliki keimanan yang kuat, bertakwa, ikhlas, memiliki dedikasi yang tinggi serta senantiasa berpedoman hanya pada hukum syara. 


Islam selalu memprioritaskan kepentingan umat, bukan kepentingan segelintir orang saja. Hingga dalam urusan meriayah umat, haruslah orang-orang cakap dan layak yang akan dipilih. Hanya sistem Islam yang bisa melahirkan pemimpin yang layak dan amanah, mengapa kita tak segera kembali pada aturan-Nya ? Sampai kapan kita akan menjadikan demokrasi sebagai aturan hidup, dan mengabaikan aturan Tuhan, yang merupakan sebaik-baik aturan?


Kembalilah pada kebenaran yang akan membawa kita pada kebahagiaan, kebenaran bahwa aturan Allah Swt. saja yang harus kita patuhi bukan aturan demokrasi.


Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak