Oleh: Ita Mumtaz
Penderitaan petani semakin ngeri di negeri ini. Katanya negara sedia pupuk subsidi, tapi realita tak seindah kabar berita. Pupuk bersubsidi kian langka. Jikalau ada pun harganya sudah menggila. Aneh bukan? Tapi ini sesuatu yang nyata, sebuah fenomena menyesakkan dada. Bagi petani, pupuk adalah salah satu faktor produksi yang utama. Jika pupuk tak terjangkau harganya maka bisa mengganggu proses tanam karena kaitannya dengan produktivitas lahan. Sebaik apapun benih dan persediaan air, tanpa pupuk akan menyebabkan tehambatnya pertumbuhan tanaman.
Berbagai alasan dikemukakan oleh pemegang kebijakan. Kementrian Pertanian menyampaiakn bahwa data pupuk subsidi dialokasikan sebesar 7,85 juta ton, sedangkan dalam realisasi kontrak DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) antara Kementan dan PT Pupuk Indonesia persero hanya 6,68 juta ton. Selisih 1,17 juta ton.
Direktur Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementan, Ali Jamil pun mengungkapkan bahwa awalnya Kementan mengalokasikan sebanyak 7,85 juta ton untuk seluruh kabupaten dan kota. Namun, karena dana yang ada hanya Rp 25 Trilliun, maka angka yang ada di kontrak berbeda, yakni 6,68 juta ton (ekonomi.bisnis.com, 30/08/2023).
Sejak lama hingga saat ini permasalahan pupuk tak kunjung usai, senantiasa membelit petani. Sebab pemerintah memang tidak serius meringankan beban rakyat. Jika mau, maka mudah bagi penguasa menetapkan kebijakan subsidi pupuk untuk para petani yang merupakan penduduk dengan peran pentingnya di negara agraris ini.
Semua itu karena negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang tidak ada aturan mengenai larangan memonopoli terhadap komoditas penting yang sangat dibutuhkan rakyat. Walhasil bagi para pemilik modal bisa semaunya memainkan harga pupuk dan membatasi pendistribusiannya. Sehingga pupuk jadi barang mahal dan langka. Di saat yang sama negara tidak punya nyali dan kemauan untuk mengulurkan bantuan subsidi pada rakyat.
Betapa petani di negeri agraris ini penuh derita karena sangat dirugikan. Belum lagi ketika panen raya, berharap akan mendapatkan hasil dari segala pengorbanan ketika proses menanam. Namun tanpa memikirkan bagaimana nasib petani, pengusaha mafia yang rakus dilegalkan oleh pemerintah melakukan impor. Sungguh kebijakan yang tidak menggunakan hati nurani.
Hanya sistem Islam yang mampu menata kehidupan dengan aturan terbaik, termasuk tatanan ekonomi sebuah negara. Berbagai persoalan ada aturannya di dalam Islam. Misal tentang bagaimana mengelola pertanian, melindungi dan menyejahterakan petani, memberikan subsidi bagi mereka agar mampu mengelola lahan dan menghasilkan berbagai produk pangan, mengatur kapan dibolehkan untuk impor dan ekspor pangan.
Negara akan senantiasa memperhatikan aspek yang bisa meningkatkan dan mendukung ketahanan pangan. Termasuk pemanfaatan lahan dan berbagai fasilitas pendukungnya, seperti pupuk, pengairan, alat-alat pertanian modern dan lain-lain. Tujuannya agar menjadi negara yang memiliki kemandirian dan integritas tinggi sehingga tidak bisa didikte oleh negara lain. Sehingga cita-cita untuk menjadi sebuah negara adidaya yang ditopang dengan ketahanan pangan yang kuat akan segera terwujud. Wallahu a’lam bishawab.
Tags
Opini