Oleh: Ita Mumtaz
Menag Yaqut Cholil kembali melontarkan pernyataan anomali.
Isu relasi agama dan politik kembali mencuat jelang pemilihan presiden 2024. Menag menyerukan kepada masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin yang pernah memecah belah umat. "Harus dicek betul, pernah enggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih!"
Menag juga menyeru masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat, rahmatan lil 'alamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami tok, " kata Menag. (Republika, 04/09/2023)
Sungguh pernyataan seperti itu tak layak terlontar dari lisan seorang muslim sekaligus pejabat kementrian agama. Sebuah pernyataan yang mengandung tendensi kekuasaan dan pemingggiran peran agama. Hal ini bisa membahayakan pemahaman kaum muslimin tentang Islam. Islam dituduh sebagai alat politik ketika para politisi menampakkan wacana Islam. Seolah mengopinikan bahwa umat Islam tidak boleh bicara politik karena Islam tidak memiliki aturan tentang bagaimana menata kehidupan masyarakat dan negara. Bahwa Islam hanya sekadar ibadah ritual.
Menag seolah menuduh bahwa Islam tidak mampu memberikan solusi akan problem yang dihadapi oleh bangsa ini dan juga negara-negara lain di seluruh dunia. Padahal pandangan semacam ini adalah ide sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Sekulerisme adalah ide dasar ideologi kapitalisme yang saat ini tengah mendominasi benak kaum muslim di negeri-negeri Islam.
Dampaknya kaum muslimin menjadi takut untuk beraktivitas politik. Mereka menganggap bahwa Islam itu suci dan harus dijatuhkan dari praktik politik yang kotor dan culas. Ditambah berbagai narasi yang menuduh dengan tuduhan negatif pada sebagian gerakan politik muslim. Yakni stigma radikalis, fundamentalis, teroris dengan gambaran aktivitas yang barbar dan keras.
Pencitraburukan aktivis Islam akhirnya berdampak pada tudingan bahwa syariat Islam sudah tidak layak diterapkan di zaman modern ini. Sehingga umat Islam pun diam dan menganggap baik-baik saja ketika hukum Allah tidak diterapkan dalam kancah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka menganggap kondisi seperti ini sudah ideal karena umat Islam masih bisa beribadah ritual seperti shalat, puasa ramadan, membaca Alquran, ibadah haji, dan lain-lain. Padahal banyak sekali kewajiban syariat Islam yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat muslim.
Bahkan umat Islam saat ini cenderung ditakuti-takuti tentang penerapan syariat oleh musuh-musuh-Nya. Dikatakan syariat Islam itu keras, tidak manusiawi, kuno dan tidak relevan untuk saat ini. Bahkan yang menjadi penyambung lidah mereka seringkali dari kalangan muslim sendiri.
Demokrasi Culas, Politik Islam Cerdas
Saat umat Islam dijauhkan dari politik, dalam waktu yang sama musuh Islam memaksakan berbagai manuver politik yang culas, yaitu demokrasi sekularisme. Umat Islam dipaksa ikut bermain dalam permainan yang diciptakan mereka. Tentu saja dengan rule the game yang menguntungkan mereka dan merugikan Islam. Penguasa berebut kursi empuk dengan memanfaatkan suara rakyat yang mayoritas muslim. Rakyat dipaksa memilih pemimpin di antara mereka untuk menerapkan sistem rusak demokrasi dalam mengatur negara. Berbagai pencitraan dan janji-janji manis mewarnai pesta pora mereka.
Sungguh sangat kotor dan menjijkkan kelakukanya. Menebar pesona keshalihan dengan penampilan islami dan sosok religius. Memperlihatkan ibadah tayamum dan sholat misalnya. Atau mantra-mantra mematikan dengan bumbu ayat-ayat Alquran. Demikianlah contoh orang-orang yang menggunakan agama sebagai alat untuk kepentingan kekuasaannya. Mereka melakukan politisasi Islam dengan niat dan tujuan yang kotor.
Adapun sejatinya politik dalam Islam adalah riayah su'unil ummah (pengaturan urusan umat) dengan syariat Islam. Islam tak dapat dipisahkan dari politik, karena politik adalah cara cerdas untuk mengurusi umat dengan syariat. Islam adalah ideologi shahih yang tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual tapi sekaligus mengatur masyarakat dan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Dari adab bangun tidur hingga membangun sebuah peradaban ada tata caranya di dalam Islam.
Rasulullah Saw telah memberikan teladan bagaimana beliau menjadi seorang Kepala Negara yang mengurusi kebutuhan dan kemashlahatan manusia dengan penerapan syariat Islam. Rasulullah juga menyampaikan dakwah pada kaum kafir di sekitar jazirah arab, mengungkap konspirasi busuk mereka, mengadakan strategi perjanjian hingga perang melawannya. Negara Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas politik. Sehingga komunikasi dengan berbagai negara pun tujuannya adalah dalam rangka menyampaikan hidayah ke seluruh penjuru dunia.
Jadi tujuan aktivitas politik dalam Islam adalah untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah di ditengah-tengah kehidupan umat yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu al-Fatawa 28/394 menyampaikan, "Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak". Wallahu a'lam bish-shawwab.
Tags
Opini