Oleh Ndarie Rahardjo, ST
Guru PAUD
Konflik pertanahan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa, tidak saja terjadi di pulau Rempang saat ini, namun jika menengok ke belakang banyak kasus-kasus serupa yang terjadi dan belum tuntas penyelesaiannya, bahkan tidak jarang konflik ini memicu bentrokan dan pengusiran, sebagaimana yang terjadi di pulau Rempang-Batam, Riau, baru-baru ini adalah bukti carut marutnya sistem agraria di negeri ini.
Berdasarkan laporan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia, sepanjang tahun 2023 telah menerima 692 kasus aduan yang terkait dengan konflik agraria sejak Januari-Agustus 2023, kata Anis Hidayah Komisioner Komnas HAM. (Kompas.com, 15/9/2023).
Itu artinya setiap hari ada 1-2 kasus terkait konflik agraria yang masuk laporan, dan bisa jadi kasus konflik ini lebih banyak dari data yang ada setiap harinya karena tidak terlaporkan semuanya.
Secara garis besar ada beberapa pemicu konflik pertanahan,antara lain disebabkan oleh:
1. Kesalahan Penetapan hak atas tanah.
Kesalahan ini bisa terjadi karena ada kecurangan dengan pemalsuan dokumen, pemalsuan surat keterangan tanah, merubah batas tanah, dan lebih jauh adalah adanya sertifikat pemilikan tanah yang sama tapi atas nama 2 orang pemilik yang berbeda, ini bisa saja dilakukan oleh oknum pemerintah ataupun mafia pertanahan yang ikut terlibat.
2. Perbedaan tafsir mengenai informasi data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat, terkait ganti rugi maupun relokasi tempat pengganti yang tidak sesuai berdasarkan kesepakatan. Perbedaan ini biasanya terjadi karena ketidakseragaman informasi yang diperoleh dari pusat dengan pelaksana tingkat bawah/daerah terkait besaran yang akan diterima tidak sesuai yang disepakati.
3. Keberpihakan pemerintah terhadap penguasaan sumber daya agraria pada pengusaha dengan jalan memonopoli yaitu dengan pemberian HGU dengan kurun waktu lama kepada investor swasta baik lokal maupun asing. Para investor ini membeli tanah masyarakat dengan murah melalui kong-kalikong penguasa setempat, kemudian menelantarkan tanah tersebut dalam waktu lama tanpa kejelasan.
Penetapan pulau Rempang sebagai kawasan Proyek Strategis Nasional telah menarik para investor untuk menanamkan modalnya di pulau tersebut. Nilai investasi ini diperkirakan mencapai 381 triliun dengan masa hak guna hingga tahun 2080. Proyek ini dimenangkan oleh PT Makmur Elok Graha (anak usaha Artha Graha Group).
Upaya untuk penanggulangan konflik dan sengketa pertanahan di Rempang
Pemerintah pusat melaui BP Batam kembali menegaskan bahwa, pembangunan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) akan tetap dilanjutkan sesuai rencana, sehingga masyarakat yang terdampak proyek akan direlokasikan dengan persetujuan atau tidak.
Sangat disayangkan sejauh ini upaya pemerintah dan pihak-pihak terkait termasuk investor swasta dalam menangani konflik atau sengketa pertanahan seringkali mengambil jalan pintas menggunakan cara-cara represivme dan premanisme yang melibatkan aparat pemerintah, yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung, namun dimobilisasi dihadapkan dengan rakyat yang dianggap sebagai musuh yang harus dikalahkan. Aparat bertindak keras kepada rakyatnya yang lemah namun lunak kepada kekuasaan.
Penggunaan watercanon dan gas airmata telah menimbulkan banyak korban dari masyarakat. Tidak sedikit dari rakyat atau masyarakat setempat yang melawan ketidakadilan namun berujung kesakitan bahkan terusir dari tanah miliknya sendiri. Lagi-lagi yang dimenangkan dan mendapat dukungan adalah pengusaha yang berdalih telah berinvestasi bukan rakyat lagi. Pemerintah berorientasi ekonomi-politik agraria terhadap elite binis dsn memaksa keluar masyarakat dari wilayah kehidupannya.
Pemerintah abai pada masalah struktural yang terjadi di Rempang, menganggap seakan-akan masyarakat tidak punya legalitas dan hanya BP Batam yang punya legalitas karena HPL (Hak Pengelolaan) yang dimilikinya.
Akankah pengembangan Pulau Rempang dapat memberi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta kabupaten/kota lain di Provinsi Kepri, seperti yang diharapkan? Atau hanya sekedar wacana saja mengatasnamakan kepentingan rakyat namun sejatinya memihak konglomerat.
Haruskah Pengembangan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City di Pulau Rempang diteruskan dengan mengorbankan Rakyat?
Penyelesaian konflik dan sengketa agraria dalam perspektif Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pembangunan/pengembangan suatu wilayah tidak dibenarkan ditempuh dengan melanggar dan mengorbankan hak-hak warga negaranya. Misalnya dengan perampasan maupun penggusuran lahan, memobilisasi aparat keamanan untuk intimidasi, dan lain-lain.
Salah satu cara Islam menempatkan sebab kepemilikan yang dibolehkan syara’ untuk menjadi miliknya yang sah adalah dengan cara bekerja. Adapun yang termasuk kategori bekerja antara lain adalah menghidupkan tanah yang mati, yaitu dengan mengolahnya dan menanaminya, baik dengan tanaman maupun mendirikan bangunan diatasnya. Dengan usaha tersebut berarti telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya.
Islam memberi ancaman bagi pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya selama 3 tahun berturut-turut, maka akan diambil Negara dan diberikan kepada orang yang mampu memanfaatkannya. Dengan cara seperti ini maka tidak akan ditemukan lahan yang mati dan tidak terurus, sehingga menjadikan lahan lebih produktif, yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap keekonomian masyarakat meningkat.
Kesimpulan
Carut marutnya masalah agraria dan konfliknya tidak bisa lepas dari sistem ekonomi kapitalis sekuler yang diterapkan di negeri ini, sehingga setiap kebijakan publik yang diambil selalu mementingkan dan mengutamakan pengusaha/pemilik modal, rakyat lagi-lagi hanya dijadikan obyek penderita. []
Tags
Opini