Oleh: Riza Maries Rachmawati
Kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan nama Whoosh yang merupakan singkatan dari frasa “waktu hemat, operasi optimal dan sistem handal” kini mulai beroperasi. Kereta api cepat pertama di Indonesia sekaligus pertama di Asia Tenggara ternyata menyisakan persoalan bagi negara ini. Pasalnya pembangunan kereta api cepat ini mengalami pembengkakan anggaran. Anggaran proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang membengkak dari US$ 6,07 miliar menjadi US$ 7,5 miliar atau setara dngan Rp 112 triliun yang mengacu pada kurs rupiah Rp 15.000 per US$. Untuk menutupi pembengkakan biaya tersebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengajukan kepada Kementerian Keuangan untuk mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sejak dua tahun yang lalu. (cnnindonesia.com, 14-02-2023)
Pada akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengatasi permasalahan biaya proyek kereta Cepat Jakarta-Bandung mengeluarakan aturan penjaminan pemerintah dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overun) proyek tersebut. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Aturan tersebut mulai berlaku pada saat diundangkan yakni 11 September 2023. (ekonomi. bisnis.com, 18-09-2023)
Bengkaknya dana pembangunan kereta api cepat ini menambah panjang masalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Lantaran sejak awal proyek tidak layak ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Pada PP 42/2021 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa Proyek Strateis Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Dari definisi yang ditetapkan pemerintah sendiri proyek kereta cepat untuk saat ini bukan menjadi kebutuhan rakyat sebab pada saat yang sama masih banyak infrastruktur yang tak layak tersebar di negeri ini, bahkan belum ada tanda-tanda pembangunan. (www.bpkp.go.id, 02-02-2021).
Penerapan Sistem kapitalisme Tidak Memihak Rakyat
Pembangunan kereta cepat ini menggambarkan ketidaktepatan penguasa dalam merancang Proyek Strategis Nasional. Padahal biaya yang digunakan untuk pembangunan kereta cepat ini terbilang tidak sedikit. Mirisnya pembengkakan biaya senilai ratusan triliun rupiah itu harus ditanggung pemerintah atau dengan kata lain menggunakan uang rakyat. Sementara kereta api yang dibandrol 250ribu sekali jalan ini hanya bisa dinikmati oleh rakyat dengan ekonomi menengah ke atas saja. Puluhan juta rakyat miskin di negeri ini tidak akan merasakan fasilitas tersebut.
Penguasan semestinya senantiasa ingat bahwa setiap sen uang negara yang dia kelola merupakan amanat dari rakyat. Apalagi kekuasaan ditangan penguasa adalah hak yang diberikan Allah SWT padanya untuk dijalankan secara amanah dan akan dimintai pertanggujawaban di akhirat. Namun prinsip kekuasaan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat maupun kepada Allah sepertinya memang tidak ada pada penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab sistem kapitalisme hanya berorientasi pada materi (ekonomi). Sehingga pemimpinnya pun terdidik dengan pola pemikiran kapitalisme yang memprioritaskan keuntungan semata bukan untuk rakyat namun untuk segelintir orang di anataranya para pemilik modal.
Dalam ekonomi kapitalisme individu atau swasta harus dijamin kebebasannya memiliki, menguasai, dan mengembangkan kekayaannya. Negara tidak boleh mengintervensi bahkan tugas negara hanya membuat regulasi atau undang-undang untuk melindungi agar individu atau swasta masih bebas memiliki, menguasai dan mengembangkan kekayaannya. Konsep ekonomi inilah yang menjadikan para pemilik modal mampu mengendalikan negara untuk menjalankan bisnisnya melalui investasi hingga menguasai aset-aset strategis negara. Seperti proyek pembangunan kereta api cepat ini, proyek infrastruktur tersebut sebagian besar didanai oleh perusahaan dari China.
Kebijakan Sistem Islam dalam Proyek Infrastruktur
Berbeda dengan konsep pembangunan dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Proyek strategis dalam Islam adalah proyek yang membawa banyak manfaat untuk umat dan mengokohkan posisi negara dalam kancah Internasional. Pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggung jawab negara. Oleh karena itu pengadaan dan pembiayaanya pun di tangan negara. Infrastruktur dimaknai sebagai seluruh fasilitas yang dibutuhkan oleh semua orang yang ketiadaannya atau monopoli atasnya akan menyebabkan bahaya dan kesengsaraan hidup manusia. Yang termasuk infrastruktur adalah jalan, kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan, instalasi pengolahan air dan jaringan pipa penyalur, pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi berupa telepon dan internet, pasokan energi, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya.
Karena infrastruktur tersebut merupakan fasilitas umum maka penggunaannya gratis tanpa dipungut biaya. Negara harus memastikan semua rakyat bisa menikmatinya. Islam juga telah menetapkan bahwa pembangunan infrastruktur tersebut tidak boleh diserahkan kepada swasta. Sebab pembangunannya diperuntukan untuk kemaslahatan rakyat, bukan objek bisnis untuk mencari keuntungan. Pembangunan proyek infrastruktur oleh pihak swasta juga sangat memungkinkan terbengkalai dan merugikan rakyat.
Metode pendanaan proyek dalam Khilafah adalah dengan memperhatikan terlebih dahulu, apakah proyek tersebut jika tidak ada akan mendatangkan kerusakan bagi umat ataukah tidak. Jika terkategori proyek yang jika tidak ada akan mendatangkan kerusakan bagi umat, perlu dikaji dulu apakah di baitulmal ada dana yang melebihi kebutuhan pokok. Jika tidak ada dana di baitulmal sementara penundaan proyek akan mengakibatkan kerusakan pada umat Islam. Maka pembangunan proyek ini menjadi tanggung jawab kaum muslimin.
Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah al-Allamah Syaikh ‘Abd Al-Qadim Zallum menjelaskan bahwa tiga strategi yang bisa dilakukan oleh negara untuk mebiayai proyek infrastruktur ini, yaitu:
Pertama, meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global. Cara ini tidak dibenarkan oleh syariat karena pinjaman tersebut ribawi dan berbagai syarat yang mengikat akan menjerat Khilafah.
Kedua, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang. Khilafah bisa menetapkan kilang minyak, gas, dan sumber tambang tertentu. hasilnya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Rosulullah saw bersabda, “Tidak ada hak untuk memproteksi kecuali milik Allah dan Rosulnya.” (HR Abu Dawud). “Nabi saw pernah memproteksi tanah an-naqi untuk menjadi tempat menggembala kuda”. (HR Abu Ubaid). Khalifah Abu Bakar, pernah memproteksi ar-Rabdzah dan As-Syaraf untuk menggembalakan unta zakat. Khalifah Umar bin al-Khaththab menahan tanah Irak, Syam dan Mesir agar tidak dibagi sebaga ghanimah, tetapi dipungut kharaj-nya. Kharaj yang terkumpul kemudian digunkan utuk membiayai kepentingan negara, pasukan, kebutuhan fakir, miskin, anak yatim, janda, dan sebagainya.
Ketiga, mengambil pajak dari umat/rakyat. cara ini hanya boleh dilakukan ketika baitulmal tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanyan digunakan untuk mebiayai sarana dan prasarana vital dan hanya diambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu.
Dalam tinta emas sejaraha khilafah, tercatat bahwa khilafah telah melakukan pembangunan infrastruktur dengan pesat. Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad Irak, jalanya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M. Padahal menurut catatan sejarah transportasi dunia negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Kali pertama peradaban barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M.
Dengan sistem Islam pembagunan infrastuktur bisa terjadi dengan pesat dengan metode pembiayaan yang mandiri dan hasilnya berkualitas level dunia. Bahkan bisa dinikmati rakyat secara gratis.
Wallahu’alam bi shawab
Tags
Opini