Oleh : Hasna Hanan
Inilah alam demokrasi tidak ada yang tidak mungkin terjadi yang dulunya lawan bisa jadi kawan selama itu menghasilkan kemanfaatan dan keuntungan bagi beberapa pihak yang punya kepentingan peng-peng (penguasa dan pengusaha), bekas Napi pun kalau mau kekuasaan bacaleg akan dimuluskan jalannya asal sesuai prosedur dan syarat tertentu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal mensyaratkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) sebagai dokumen pendaftaran calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Pemilu 2024. Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, ihwal tersebut akan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
"KPU akan tetap mensyaratkan SKCK sebagai bagian dari persyaratan pencalonan bakal caleg (calon anggota legislatif)," kata Idham kepada Kompas.com, Jumat (9/9/2022).
Menurut Idham, ketentuan dalam UU Pemilu dan amar Putusan MK menjadi landasan KPU mengatur syarat SKCK sebagai dokumen pendaftaran calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Atas nama HAM
Pengajuan eks napi menjadi bacaleg sebenarnya pernah ditolak atau dilarang pada saat itu, diman KPU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Namun norma larangan napi korupsi mencalonkan diri di Pemilu 2019 itu pun digugat oleh sejumlah pihak, di antaranya para mantan napi korupsi. Akhirnya, PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu.
"Itu bertentangan dengan UU Pemilu. UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu," kata Juru Bicara MA Suhadi kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2018).
Kemudian, kata Idham, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih
Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Pasal 73 UU HAM mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya yakni:
Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
"Dalam konteks hal ini, maka menjadi penting bagi kita untuk menelaah Pasal 43 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999," kata Idham kepada Kompas.com, Minggu (11/9/2022).
Demokrasi meniscayakan kemudharatan bagi masyarakat dalam politiknya
Adanya kebolehan eks napi korupsi ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah . Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.
Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli dan lainnya
Nyatanya, sistem pemerintahan demokrasi memang melahirkan pejabat korup di semua sisi, diakui maupun tidak. Dari korupsi kelas teri, seperti pungli, hingga kelas kakap, seperti suap miliaran. Di sisi lain, sistem sekularisme tidak membentuk ketakwaan komunal yang menjadikan tiap individu mampu menjaga diri dari godaan harta dunia dan saling menasihati antarindividu jika ada yang berbuat curang atau menipu rakyat. Yang terjadi, mereka justru melakukan korupsi berjemaah tanpa malu dengan perbuatan maksiatnya.
Apalagi regulasi pemerintah menjadi jembatan yang nampak jelas untuk melegalkan keberadaan para eks napi korupsi ini berlenggang lagi dikancah kekuasaan, janji apa yang mereka berikan untuk kesejahteraan rakyat dengan riwayat jiwa korupsi yang pernah disandangnya, bukankah manusia telah Allah SWT sifatkan secara fitrah akan selalu tergiur dengan harta, tahta dan wanita bila keimana n dan ketaqwaan terdominasi dengan hawa nafsu duniawi ditambah sistem yang mendukung perilaku itu terjadi, inilah paket lengkap kerusakan berikut kemaksiatan serta kedzaliman sistem demokrasi kapitalisme sekuler, yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan meninggalkan nilai-nilai agama yang berupa syariat Islam dalam mengatur negara dan rakyatnya.
Islam Menjadikan Pemimpin Umat Amanah
Islam memiliki paradigma tersendiri soal kepemimpinan dan kekuasaan yang disebut sebagai ‘Khilafah’. Keduanya tegak di atas asas akidah yang lurus, yakni keimanan kepada Allah Taala, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, sekaligus Maha Membuat Perhitungan saat Hari Pembalasan. Alhasil, dalam paradigma Islam, kepemimpinan dan kekuasaan tidak lepas dari pertanggungjawaban, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat.
Setiap muslim bahkan harus meyakini bahwa pertanggungjawaban di akhirat jauh lebih berat dan mengerikan. Dengan demikian, siapa pun yang beriman, tidak akan main-main soal kepemimpinan dan kekuasaan, apalagi menjadikannya sebagai jalan untuk melakukan kezaliman.
Begitu pula, para pemimpin atau penguasa (yakni khalifah) diangkat oleh umat semata untuk menjalankan hukum-hukum Allah secara keseluruhan, bukan untuk yang lainnya. Ini karena Islam menetapkan kedaulatan adalah milik Allah, bukan rakyat. Dialah yang berhak menetapkan hukum, bukan manusia.
Justru dengan hukum-hukum Allah itulah mereka akan mampu menjalankan fungsi hakiki kepemimpinan, yakni sebagai raa’in (pengurus) sekaligus junnah (pelindung) bagi umat. Ini karena hukum-hukum Allah (syariat Islam) adalah solusi bagi seluruh masalah kehidupan manusia dengan pemecahan yang sahih.
Wallahu'alam bisshawab