ASIA Pasifik Dilanda Kemiskinan Ekstrim, Bukti Lemahnya Sistem Ekonomi Kapitalisme



Oleh : Ami Ammara



Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan 155,2 juta orang di negara berkembang yang berada di Asia Pasifik, atau 3,9 persen populasi kawasan tersebut hidup dalam kemiskinan yang ekstrem.
Hal itu dipicu meningkatnya krisis biaya hidup imbas lonjakan inflasi yang terjadi tahun lalu. Masalah juga dipicu penyebaran pandemi covid dalam 3 tahun belakangan ini.

ADB mendefinisikan masyarakat hidup dengan kemiskinan ekstrem jika pendapatan kurang dari US$2,15 per hari.

Kepala Ekonom ADB Albert Park mengatakan jumlah kemiskinan ekstrim itu 67,8 juta lebih tingi jika dibandingkan tidak ada pandemi dan lonjakan inflasi.

Ia menambahkan lonjakan inflasi telah membuat masyarakat miskin menjadi pihak yang paling dirugikan. Pasalnya, karena lonjakan itu mereka kehilangan kemampuan dalam membeli kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar karena harganya makin mahal.

Tak hanya itu. Kenaikan harga barang juga membuat banyak masyarakat miskin kehilangan kemampuan untuk menabung, membayar layanan kesehatan, atau berinvestasi di bidang pendidikan.

Alhasil, mereka semakin kesulitan untuk keluar dari kemiskinan. Yang terjadi malah mereka semakin terjungkal ke jurang kemiskinan ekstrem.

"Asia dan Pasifik sebenarnya terus pulih dari pandemi covid-19, namun peningkatan biaya hidup menghambat kemajuan dalam pengentasan kemiskinan," katanya dalam pernyataan yang dirilis di website ADB pada Kamis (24/8) CNN Indonesia.

Ia berharap negara di kawasan ini memperkuat jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin untuk membantu mereka menghadapi lonjakan biaya hidup. Ia juga mendorong negara menggenjot investasi serta inovasi yang menciptakan peluang pertumbuhan dan lapangan kerja.

"Pemerintah di kawasan ini harus kembali ke jalur yang benar, katanya".

Hal ini merupakan hasil sistem kapitalis yang diterapkan hari ini, yang gagal mewujudkan kesejahteraan umat dan malah membuat ketimpangan dan kesenjangan kekayaan yang cukup besar.

Mekanisme Islam

Tolok ukur kapitalisme jelas berbeda jauh dengan sistem Islam. Tolok ukur kemiskinan diukur dari sejauh mana seseorang memenuhi kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan orang fakir sebagai orang yang punya harta (uang), tetapi tidak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tidak punya harta (uang), sekaligus tidak punya penghasilan. (Nizhamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut).

Dalam perspektif Islam, kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Alhasil, negara harus benar-benar memastikan pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyatnya. Masalah kemiskinan diuraikan dengan memenuhi segala kebutuhan dasar rakyat. 

Di antara mekanisme Islam menyelesaikan problem kemiskinan adalah sebagai berikut.

Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer. Namun, bukan berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, atau rumah kepada rakyat setiap saat, hingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Maksud dari jaminan tersebut adalah diwujudkan dengan pengaturan serta mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.

(1) Islam mewajibkan laki-laki menafkahi diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman, “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.”
(QS Al-Baqarah [2]: 233). 

(2) Mewajibkan kerabat dekat untuk membantunya. Jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah, seperti meninggal, cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usia lanjut, dsb., kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah. 

(3) Mewajibkan negara membantu rakyat miskin. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan. Alhasil, pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitulmal (kas negara). Dengan kata lain, negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya.

(4) Mewajibkan kaum muslim membantu rakyat miskin. Jika kas negara kosong, kewajiban nafkah beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Taala berfirman, “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 19).

Kedua, pembagian kepemilikan secara benar. Ada tiga aspek kepemilikan dalam Islam yaitu, individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan siapa pun mencari harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dibolehkan Islam. Adapun kepemilikan umum, dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, yaitu bisa berupa harga murah bahkan gratis.

Pembagian ini sangat penting agar tidak terjadi dominasi ekonomi, yakni pihak yang kuat menindas yang lemah lantaran harta milik umum dikuasai individu atau korporasi. Semisal, penguasaan individu atau swasta atas barang tambang, gas, minyak bumi, kehutanan, sumber daya air, jalan umum, pelabuhan, bandara, dan sebagainya yang menjadikan ekonomi mereka kuat, meluas, hingga mendominasi kekayaan.

Harta milik umum adalah berupa barang tambang, minyak, sungai, danau, hutan, jalan umum, listrik, dsb. Negara wajib mengelola harta jenis ini secara mandiri dan tidak boleh diserahkan pada swasta, individu, ataupun asing. Hasil pengelolaannya bisa dikembalikan pada rakyat untuk memenuhi hajat publik mereka.

Ketiga, distribusi kekayaan yang merata. Negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mampu untuk mengelolanya. Setiap individu berhak menghidupkan tanah mati dengan menggarapnya; yang dengan cara itu ia berhak memilikinya (dengan peran negara). Negara juga berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. 

Semua itu menggambarkan betapa syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas SDA dan SDM, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Keempat, pembangunan ekonomi bertumpu pada sektor riil, bukan nonriil. Mengapa kapitalisme sangat rapuh dan rentan krisis? Ini karena ia ditopang ekonomi nonriil, seperti jual beli saham, sekuritas, obligasi, dsb. Sistem ini juga berjalan dengan transaksi ribawi, seperti utang-piutang berbasis bunga melalui sistem perbankannya. Dengan pembangunan dan pengembangan ekonomi di sektor riil, krisis ekonomi tidak akan terulang.

Kemiskinan yang melanda kawasan Asia Pasiifik adalah dampak penerapan ideologi kapitalisme global. Kapitalisme mengakibatkan kemiskinan tersistem yang berdampak meluas pada kehidupan masyarakat. Sedangkan dalam Islam, kemiskinan sangat minim terjadi, itu pun sifatnya individual. Ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme menyengsarakan masyarakat secara komunal. 

Masihkah kita berharap pada sistem rapuh semacam kapitalisme?

Sudah saatnya beralih pada solusi alternatif yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia, yang memiliki sistem ekonomi yang meniscayakan terwujudnya sejahtera individu per individu.
Inilah sistem Islam kaffah.
Wallahu alam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak