Antara Politik dan Agama



Penulis Dara Millati Hanifah, S.Pd
Pemerhati Pendidikan


Beberapa bulan lagi, pemilu 2024 akan diadakan. Baliho yang menjadi calon legislatif sudah mulai dipasang di beberapa jalan. Tak luput, media seperti iklan sudah disiarkan jauh - jauh hari. Selain itu, kampanye juga mulai dilakukan oleh partai yang menaungi calon - calonnya.

Yaqut sebagai menteri agama mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang membelah umat serta menjadikan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Menurutnya, pemimpin yang ideal itu mampu menjadi rahmat bagi seluruh golongan. (News.Repbulika.co.id 04/09/2023)

Pengamat politik Universitas Al - Azhar, Ujang Komarudin mengatakan apa yang diucapkan oleh Kemenag jangan sampai memicu perpecahan diantara masyarakat. Direktur Eksekutif Indonesian Political Review (IPR) mengingatkan untuk menghormati pilihan politik setiap orang karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan. (News.Repbulika.co.id 05/09/2023)

Sebagai seorang pejabat publik tidak seharusnya mengatakan hal demikian untuk menarik perhatian masyarakat. Apalagi menimbulkan perpecahan di masyarakat. Namun, di zaman kapitalisme sekuler saat ini rasanya sulit untuk menemukan pemimpin yang amanah. Yang menjalankan aturan - aturan Allah swt serta sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw.

Karena, sampai kapanpun politik dan agama tidak bisa terpisahkan. Dua hal ini, sudah menjadi satu kesatuan yang jika salah satunya tidak ada akan kehilangan keseimbangan. Politik tanpa agama mustahil berjalan dengan semestinya. Namun, di sistem saat ini aneh jika agama ada dalam politik. Bagi mereka yang menganut kapitalisme sekuler agama hanya ada pada ranah pribadi bukan diranah umum seperti politik.

Sesuai dengan perkataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I'tiqad menyatakan, agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama merupakan fondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memilki pondasi niscaya akan roboh. Segala sesuatu yang tidak memilki penjaganya pasti akan musnah.

Maka dari itu, banyak para pejabat yang tidak memakai aturan yang ditentukan oleh Allah untuk mengambil keputusan ketika terjadi sesuatu ditengah - tengah masyarakat. Karena, aturan yang mereka pakai adalah sistem sekuler. Di mana, para pejabat bebas mengambil keputusan tanpa memikirkan dampak yang akan dialami masyarakat dari hasil keputusannya. Tidak memikirkan kondisi rakyatnya yang kian hari semakin miris.

Berbeda, saat Rasulullah menjadi pemimpin negara. Beliau selalu menjadikan Al - Qur'an dan As - Sunnah sebagai landasan ketika menetapkan suatu hukum atau menyelesaikan perkara yang terjadi ditengah masyarakat. Karena, Islam bukan hanya mengatur terkait ibadah saja tetapi seluruh aktivitas manusia diatur dalam Islam tak terkecuali soal politik.

Politik dalam Islam adalah riayah su'unil umat  yaitu, mengatur urusan umat. Semua permasalahan umat dipecahkan sesuai dengan pandangan Islam. Baik di sektor pendidikan, kesehatan atau sektor yang lainnya. Karena itu, harus ada seseorang yang mampu mengurusnya. Tidak bisa sembarangan menjadi seorang pemimpin.

Seorang pemimpin bukan hanya mengandalkan otak yang cerdas, atau fisik yang sehat. Salah satu kriteria pemimpin yang ideal adalah harus mampu. Mampu disini, dia bisa mengurus umat dengan adil, bijaksana tanpa pandang bulu baik si kaya maupun si miskin. Karena, memang tidak mudah mengurusi jutaan rakyat dengan beragam karakter serta budaya yang berbeda di setiap wilayahnya.

Selain itu, seorang pemimpin harus menerapkan aturan yang sesuai dengan Al - Qur'an dan As - Sunnah. Yang akan mensejahterakan serta menentramkan rakyat. Keadaan tersebut akan terjadi jika negara menggunakan sistem Islam. Dan tidak memisahkan antara politik dengan agama.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak