Agama dan Kekuasaan adalah Saudara Kembar, Mengapa Harus Dipisahkan?




Penulis: Nur Indayati
Pegiat Literasi 

Jelang tahun politik 2024, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Hanya saja, Gus Yaqut, sapaan akrabnya, tidak menyebut sama sekali siapa sosok yang dimaksud. (Republika, 4/9/2023)

Pernyataan Menteri Agama ini sangat menyesatkan umat, karena dia menuduh agama ini dijadikan sebagai alat politik saja padahal Islam itu adalah agama yang sempurna yang mampu mengatasi semua persoalan hidup. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam Quran surat al-Maidah ayat 3. 

"... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Sementara Imam Ghazali mengatakan bahwa agama dan kekuasaan itu adalah saudara kembar.

Bicara tentang hubungan Islam dan politik setidaknya kita melihat ada tiga pola, yaitu:

Pertama, ada yang dengan tegas mengatakan bahwa politik harus dijauhkan dari Islam dan Islam harus dijauhkan dari politik. Bahkan secara umum mereka mengatakan bahwa politik itu kotor. Agama termasuk agama Islam itu suci, karena itu sesuatu yang suci ini tidak boleh didekatkan apalagi dicampurkan dengan sesuatu yang kotor karena yang suci nanti akan ikut menjadi kotor.

Kedua, Islam harus menjadi warna dan menjadi dasar dari politik. Bahkan politik adalah bagian dari Islam. Dan politik itu merupakan pengamalan dari syariat Islam.

Ketiga, yaitu varian di antara yang pertama dan yang kedua, dia tidak mengatakan bahwa Islam harus dipisahkan dari politik tetapi juga dia menolak bahwa Islam ini harus menjadi jadi dasar utama dari politik. Dikatakan bahwa Islam ini setidaknya bisa memberi warna atau memberikan spirit bagi politik agar politik ini bisa memiliki etika yang yang lebih baik karena nilai-nilai Islam itu sangat berharga bagi muncul dan perkembangan politik yang yang baik, politik yang etis, dan sebagainya.

Jika melihat dari tiga varian itu varian yang kedua-lah yang tepat bahwa politik itu merupakan pengamalan dari Islam artinya sebagaimana juga ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan sebagainya merupakan pengamalan dari ajaran agama Islam. Maka ketika  berpolitik  harus mengikuti ketentuan Islam di dalam politik. Bagaimana Islam mensyaratkan atau menggariskan mana yang boleh mana yang tidak  boleh. Tidak hanya sekedar menjadi alat atau menjadi ajang untuk meraih kekuasaan semata. 

Bahkan dikatakan bahwa politik itu sebagai pengaturan kehidupan umat di mana kekuasaan itu juga merupakan bagian dari usaha untuk meriayah, mengurusi, atau memelihara umat.


Ketika orang berkuasa, dia akan  memimpin suatu masyarakat, dan dari masyarakat itu dalam berbagai aspeknya diatur dengan syariat Islam. 
Mengatur masalah ekonomi dengan Islam dan seterusnya

Berkaitan dengan  kepemimpinan di dalam Islam ditentukan oleh dua hal yang pertama oleh orang yang memimpin atau yang mengatur. Kemudian yang kedua adalah aturan apa yang dipakai. Konsekuensi politik dalam Islam itu adalah bahwa pemimpinnya harus sadar dari awal bahwa dia itu dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan aturan Islam atau mengatur masyarakat dengan aturan Islam. Yang kedua pemimpin harus menerapkan syariat Islam di dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan, maka harus sistem pemerintahan Islam yang dipakai yaitu khilafah.

Kadang ada suatu kekuatiran bagaimana kemudian politik dalam Islam dijadikan alat legitimasi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang pada rakyatnya atas nama agama.  

Maka politik Islam bisa menjawab tantangan ini artinya bagaimana agar agama itu tidak justru dijadikan legitimasi bagi penguasa untuk membuat kebijakan-kebijakan yang zalim yang merugikan rakyat. Nyatanya selama 12 abad hal itu tidak terbukti bahkan yang terjadi sebaliknya kesejahteraan yang terjadi. Kekhawatiran yang sangat wajar karena memang itu telah menjadi fakta sejarah di masa lalu di Eropa di mana agama itu dijadikan sebagai alat legitimasi untuk tindakan zalim atas nama agama. Padahal itu spesifik sejarah Eropa dengan agama Nasrani pada waktu itu yang memang dari konten agamanya itu memang sudah tidak lagi update sehingga tidak mampu mengatur masyarakat yang terus tumbuh berkembang. Utamanya ketika berhadapan dengan temuan-temuan di bidang sains dan teknologi untuk mendukung perubahan yang luar biasa dari aslinya sedemikian sehingga akhirnya ketika para ilmuwan itu dengan dengan usaha, pengamatan, penyelidikan, dan penelitiannya menemukan fakta-fakta sains yang baru itu tidak bisa lagi dibenarkan oleh doktrin agama. Hal ini berbeda sekali dengan Islam. Sehingga di Eropa muncullah sekulerisme. Karena itulah maka aneh kalau kemudian kesimpulan seperti itu lalu dibawa di dalam konteks Islam. 

Setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan Islam berbeda dengan agama yang lain. 

Pertama adalah faktor agama Islam itu sendiri yang memang memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupan masyarakat berkembang. Katakanlah se-modern apapun itu, Islam masih bisa mengatur, bahkan bisa mengendalikannya menjadi masyarakat yang modern sekaligus religius.

Ke dua, adanya penguasa dan keimanan-keimanan yang faktual. Artinya bahwa ketika dia itu memimpin dengan Islam memang dia berhubungan langsung dengan keyakinan, keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan dia memimpin dalam rangka ibadah. Dan adanya rasa takut kepada Allah karena nantinya akan ada pertanggungjawaban atas semua amanah yang diberikan kepadanya.

ketiga mekanisme kontrol yang dilakukan individu maupun kelompok itu dalam Islam disebut sebagai muhasabah yang disebut sebagai amar ma'ruf nahi mungkar. Ini sesuatu yang tidak kita jumpai pada agama yang lain. 

Hal ini dikatakan sebagai aktivitas yang sangat mulia bahkan nabi mengatakan:

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I’tiqad menyatakan, agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya.

Segala sesuatu yang tak memilki pondasi niscaya akan roboh. Segala sesuatu yang tak memilki penjaganya pasti akan musnah. Ini menunjukkan pada manusia “relasi antara agama dan kekuasaan merupakan hal yang sangat urgen, penting dan tidak terpisahkan".

Islam adalah Agama paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya bernegara.

Rasulullah saw. sendiri mencontohkan, beliau sebagai kepala negara, mengangkat qadhi sebagai panglima perang, mengirim delegasi-delegasi diplomatik, hingga mengatur “Baitul Mal”. Itu semua merupakan aktivitas politik bernegara.

Dipisahkannya antara agama dan politik ini menunjukkan bahwa negara kita saat ini adalah berlandaskan kepada sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Wallahualam bissawab.

1 Komentar

  1. MasyaAlloh.. mudah-mudahan orang Islam semakin sadar akan janjiNya..bahwa agamaNya akan menjadi pemenang menyelesaikan permasalahan masyarakat

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak