Oleh: U Diar
Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah mengungkap kasus perdagangan orang dengan modus program magang ke luar negeri Jepang dengan korban mahasiswa. Dalam kasus ini, dua orang diduga tersangka diamankan polisi.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, pengungkapan kasus ini diawali dengan laporan dari korban berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang. Saat itu dilaporkan korban bersama sembilan orang mahasiswa lainnya dikirimkan oleh Politeknik untuk melaksanakan magang di perusahaan Jepang. Akan tetapi, korban dipekerjakan sebagai buruh.
Ia menjelaskan, beberapa hal yang dialami korban yakni bekerja selama 14 jam dari jam 8 pagi sampai dengan jam 10 malam selama 7 hari tanpa libur. Untuk istirahat, korban hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah. Padahal, dalam aturan Permendikbud 03 Tahun 2020, Pasal 19 yang berbunyi untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit perminggu, per semester. [1]
TPPO yang bersinggungan dengan dunia pendidikan ini sungguh meresahkan. Pasalnya dunia pendidikan merupakan area yang terkenal sebagai pusatnya orang pintar, banyak orang bergelar panjang dilahirkan di sana. Menjadi aneh jika di sana pula ditemukan pelanggaran yang merugikan orang lain. Tentu hal ini merupakan noda hitam yang mencoreng lembaga pendidikan.
Seakan menegaskan bahwa gelar yang disandang bukanlah jaminan perilaku seseorang. Bahwa pintar secara akademis bukan jaminan patuh pada aturan yang sudah ditetapkan. Maka fakta di lapangan magang bisa disulap menjadi modus menutupi tenaga mahasiswa yang dimanfaatkan untuk sejumlah kepentingan. Jika sudah demikian, apakah idealisme pendidikan masih bisa diandalkan?
Sulit dinafikan bahwa pendidikan saat ini berkaitan erat dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Aturan kapitalis sekuler dalam ekonomi sedikit banyak memberikan penetrasi pada dunia pendidikan. Dan kegiatan magang adalah salah satu bentuk koneksinya. Secara materiil, baik perusahaan sebagai penggerak ekonomi, maupun lembaga pendidikan sebagai penyedia jasa magang sama-sama merasakan manfaat dari simbiosis yang terjadi di antara keduanya.
Maka tak heran jika semakin kesini semakin ada pergeseran dari tujuan masuk ke pendidikan tinggi itu sendiri. Tak sedikit yang mengakui bahwa masuk perguruan tinggi adalah pijakan untuk memasuki dunia kerja. Sebab dari dunia kerja sendiri kerap kali juga mensyaratkan kualifikasi pendidikan dalam rekrutmen pegawainya. Maka tak heran jika program pendidikan pun pada akhirnya mengikuti kebutuhan pasar kerja, yakni menyiapkan lulusan yang tujuan akhirnya adalah siap bekerja, bukan menjadi pengangguran.
Orientasi lulus lalu kerja ini tidak bisa dipalingkan dari kenyataan kehidupan saat ini yang memang menuntut untuk memiliki uang. Kapitalisasi kehidupan menjadikan hampir semua fasilitas yang diperlukan untuk hidup dan menaikkan taraf hidup tidaklah gratis. Siapa yang mampu menjangkau, maka merekalah yang eksis. Sehingga tidak heran jika pendidikan pun pada akhirnya dijadikan sebatas formalitas saja, asalkan ujungnya bisa kerja. Apalagi biaya mengenyam pendidikan juga tidak murah.
Berbeda paradigmanya dengan Islam. Di masa kejayaan Islam, misal pada masa kekhalifahan Abbasiyah, pendidikan menunjukkan tajinya. Output pendidikan pada masa itu menyisakan jejak ilmuwan yang karyanya terabadikan hingga sekarang. Pelaku pendidikan di masa itu menikmati belajar bukan karena tuntutan gelar untuk mengisi kualifikasi lamaran pekerjaan, melainkan menjalankannya sebagai penunaian kewajiban menuntut ilmu.
Sadar belajar karena ibadah, plus didukung fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas umum lainnya yang benar-benar digratiskan negara, orientasi belajar mereka bisa fokus pada satu titik utama. Yakni menjadi bermanfaat untuk umat, menjadi pintar karena ingin mempersembahkan karya yang bisa menyelesaikan persoalan umat saat itu.
Fokus mereka bukan menuju dunia kerja, sebab dari sisi fiqih mereka memahami bahwa bekerja hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan harta. Oleh sebab itu tak heran bila di masa keemasan Islam dulu, kekhalifahan Islam berhasil melahirkan output pendidikan terbaik.
Negara menyelenggarakan pendidikan dengan gratis, begitu pula dengan kebutuhan vital lainnya. Pasalnya pemegang kekuasaan saat itu menyadari bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menyediakan segala hal yang diperlukan umat dalam rangka memudahkan mereka menunaikan apa yang menjadi kewajiban mereka. Sehingga tidak ada negara hanya sebatas regulator, kemudian membiarkan swasta menjadi penentu orientasi pendidikan.
Dengan Islam yang dijadikan landasan, peluang menjadikan magang sebagai modus mendapatkan keuntungan sepihak bisa dihindarkan. TPPO tidak diberi celah meresahkan dan menyasar dunia pendidikan. Sebab pelaksanaan pendidikan akan difokuskan membentuk kepribadian yang sejalan antara ketinggian intelektual dan perilaku keseharian, bukan besarnya gaji dan tingginya jabatan di dunia kerja. []
Referensi:
1. https://www.liputan6.com/news/read/5330870/mahasiswa-jadi-korban-tppo-dengan-modus-magang-di-jepang-kehidupannya-memprihatinkan