Si Melon" Hilang, Emak Kalang Kabut






Oleh : Teti Ummu Alif 
(Pemerhati Masalah Umat) 

Emak-emak +62 saat ini sedang ketar-ketir. Betapa tidak, dapur para emak terancam tidak bisa ngebul dalam waktu yang tak ditentukan. Pasalnya, gas LPG 3 kg alias "Si Melon" tetiba hilang dari peredaran. Akibatnya, emak harus putar otak agar santapan keluarga tetap tersaji. Antrean panjang pun terpantau disejumlah daerah. Mulai dari Padang, Medan, Lampung, Magetan, Banyuwangi hingga Sidrap. Bahkan, kelangkaan ini juga turut dirasakan warga Morowali Sulawesi Tengah yang mengakibatkan harga LPG 3 kg tembus 90 ribu rupiah (mediaindonesia.com 16/7/2023). 

Sontak saja, hilangnya elpiji 3 kg dipasaran menimbulkan tanya dari berbagai pihak. Apa sebenarnya penyebab hilangnya elpiji melon. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan penyebab langkanya elpiji 3 kg adalah peningkatan konsumsi di masyarakat. Ia menyampaikan bahwa telah terjadi salah sasaran dalam penyaluran elpiji 3 kg. Menurut data pemerintah, terdapat 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi elpiji dari total 88 juta rumah tangga atau sekitar 68%. Akan tetapi, saat ini penjualan elpiji melon mencapai 96%. Ia menyatakan bahwa hal ini mengindikasikan ada subsidi yang salah sasaran (cnnindonesia.com 27/7/2023). 

Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menjelaskan, salah satu penyebab adanya isu kelangkaan LPG subsidi tiga kilogram karena memang ada persoalan distribusi. Skema penataan distribusi yang diterapkan Pertamina tak tersosialisasi secara penuh ke masyarakat sehingga masyarakat tak dapat akses elpiji subsidi (republika.co 31/7/2023). 

Polemik langkanya elpiji menunjukkan bahwa negara lalai didalam memenuhi kebutuhan pokok warganya. Elpiji merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat karena merupakan bahan bakar paling populer untuk memasak. Tentu masih lekat diingatan kita ketika masyarakat pada umumnya pernah menggunakan minyak tanah. Lalu pemerintah saat itu melakukan konversi dari minyak tanah ke elpiji dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak tanah dan mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi. 

Namun, kini setelah mayoritas masyarakat menggunakan elpiji, ternyata muncul lagi keberatan pemerintah terkait subsidi. Pemerintah mengeluhkan jebolnya kuota elpiji 3 kg bersubsidi. Diprediksi penyerapan elpiji 3 kg bersubsidi hingga akhir tahun 2023 lebih 2,7% dari kuota yang ditetapkan dalam APBN. Dengan demikian, sejatinya yang menjadi masalah sebenarnya adalah subsidi bagi rakyat yang dianggap membebani negara. Pemerintah merasa keberatan karena subsidi dianggap membebani APBN. Miris bukan? 

Ya, paradigma berpikir bahwa subsidi membebani negara merupakan pandangan khas ideologi kapitalisme. Di dalam kapitalisme, mekanisme pasar sangat diagungkan. Setiap orang dibiarkan bersaing untuk memperoleh sumber ekonomi tanpa ada campur tangan negara. Oleh karena itu, negara lepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Rakyat diharuskan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak boleh ada subsidi karena akan membuat rakyat manja sehingga tidak produktif. Subsidi juga akan membebani APBN sehingga memberatkan negara. Beginilah risiko hidup di bawah naungan kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai pengawas alias regulator. Negara hanya memastikan bahwa mekanisme pasar berjalan lancar, tanpa ada pelanggaran terhadap aturan negara. 

Padahal, di sejumlah negara Barat penerapan sistem ini telah banyak menuai kerusakan. Bahkan, digugat warganya sendiri karena tidak mampu memberikan keadilan. Bagaimana tidak, melalui ekonomi liberal para kapitalis begitu bebas menikmati sumber-sumber ekonomi. Sementara mayoritas rakyat tidak dapat menikmatinya. Seyogianya, penguasa saat ini dapat melihat dengan jelas kegagalan kapitalisme dalam memimpin dunia. Sayang bukannya berbenah kearah yang lebih baik, pemerintah justru membuat perekonomian negeri ini makin liberal. Lihat saja berbagai subsidi kian dihilangkan secara perlahan. Artinya, beban hidup rakyat akan makin berat. Namun, negara tidak peduli.

Hendaknya negara menyadari bahwa yang membebani APBN selama ini bukanlah subsidi. Akan tetapi, pembayaran utang berikut bunganya. Proyek prestisius digenjot dengan dana utang, lalu APBN harus membayar pokok dan bunganya. Anehnya, subsidi yang disalahkan. Sungguh kerusakan yang mana lagi yang didustakan?

Sudah saatnya kita mencampakkan sistem yang tidak manusiawi ini. Lalu digantikan dengan sistem yang membawa keadilan baik secara ekonomi maupun lainnya. Sistem tersebut adalah sistem islam.  Pasalnya, Politik ekonomi Daulah Khilafah Islamiah adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk energi.

Khilafah menjamin ketersediaan energi di tengah masyarakat. Baik untuk memasak, transportasi, penerangan, maupun yang lainnya. Negara akan menggunakan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyediakan bagan bakar bagi rakyat dengan harga murah atau bahkan gratis. Bisa berupa listrik, BBM, elpiji, LNG, maupun energi alternatif seperti bayu, panas bumi, nuklir, dan lain sebagainya. 

Bisa dibayangkan, ketika negara ini hadir ditengah-tengah kita maka tidak akan ada lagi masalah pendistribusian gas yang tidak merata. Sebab, untuk keperluan memasak misalnya, negara bisa menyalurkan LNG yang jumlahnya berlimpah di Indonesia melalui pipa-pipa ke rumah warga. Penyediaan LNG maupun jaringan dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab negara. Negara tidak boleh mengambil untung darinya. Negara boleh saja menjualnya ke rakyat, tetapi hanya sebatas biaya operasional. Bukan bisnis. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak