Oleh : Diani Ambarawati
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Fantastis, selama tahun 2019-2022 ada 3.912 orang Indonesia pindah kewarganegaraan jadi warga negara Singapura dan mirisnya kebanyakan di usia produktif antara 25 - 35 tahun. Usia ini menjadi salah satu parameter pertumbuhan suatu negara, jika produktif dan inovatif akan menjadi sumber penghasilan yang signifikan, jika disupport negara. Ada fenomena apakah ini?
Melansir dari detikedu.com, Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Silmy Karim mengatakan bahwa kepindahanan warga negara yang sedang studi di Singapura sekitar 1000 mahasiswa setiap tahunnya. Menurut Dr Tuti Budirahayu Dra Msi Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, fenomena ini sebagai sebuah fenomena migrasi yang lumrah terjadi dan adanya faktor penarik dan pendorong. Adanya kesempatan bekerja, berkarier, serta menjalani kehidupan yang lebih baik menjadi faktor pendorong berpindahnya para WNI.
"Masalahnya kalau ini menjadi berbondong-bondong berarti ada sesuatu yang salah di Indonesia. Mungkin saja mereka bermigrasi karena nggak nyaman lagi tinggal di sini. Berarti pemerintah Indonesia tidak memberikan iklim yang baik untuk mereka. Inilah sebetulnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah," tegasnya.
Versi Kesejahteraan Ala Kapitalis Hanyalah Ilusi
Masalah kesulitan mencari pekerjaan dan kesenjangan sosial juga kesejahteraan hanya didapat oleh segelintir orang, terlebih usia produktif saat ini memiliki beban kehidupan imbas dari resesi ekonomi yang terus mengancam negeri ini. Padahal kekayaan alam bisa menjadi pendapatan riil yang seutuhnya bukan hanya prosentasi dan itu minim bahkan nihil untuk rakyat. Faktanya Negara hanya menjadi fasilitator dan regulator dalam pengelolaan, program kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan saja tidak solutif, alhasil semakin meninggi kemiskinan skala nasional.
Fakta dari Singapura sendiri, bahwa tahun 2022 adanya perlambatan pertumbuhan angka kelahiran yang hanya 1,5 akibat kekurangan generasi akibat tercemar budaya white hood dan childfree ala kapitalis. Seperti yang terjadi di jepang dan Korea Selatan. Kondisi pindah negara ini menjadi angin segar simbiosis mutualisme bagi Singapura yang membutuhkan tenaga kerja produktif untuk meningkatkan perekonomian negaranya.
Atmosfir rame-ramenya pindah negara bagi negeri ini harusnya menjadi perhatian khusus tersendiri jika tidak mau kehilangan generasi penerus pemerintahan negeri ini. Kebayang jika kehilangan generasi produktif, yang adapun tidak didukung bahkan dijegal kreativitas dan inovasi dari keilmuan mereka bahkan tidak sedikit diadopsi oleh negara lain. Apa yang mereka harapkan? Jika hanya mencari kesejahteraan dalam sistem kapitalisme, selamanya tak akan pernah didapatkan karena menihilkan peran negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya. Terlebih lagi, rakyat hanya dijadikan tumbal oligarki dengan kepentingannya.
Kesejahteraan Versi Islam
Sistem Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiah akan mengembalikan berbagai kekayaan alam seperti tambang kepada pemiliknya, yaitu rakyat. Tambang-tambang tersebut akan diambil dari para kapitalis, baik lokal maupun asing. Adapun perusahaan asing tersebut akan disuruh pulang ke negerinya dan tidak boleh bercokol di sini.
Hanya sistem Islam yang akan meniscayakan kesejahteraan, memanusiakan manusia dan menjaga warganya baik muslim atau non muslim tanpa kecuali. Sehingga rakyat akan terjamin hajat hidupnya karena aturan kehidupan bersandar pada pemilik aturan kehidupan yaitu Allah SWT berpijak pada akidah Islam yang akan memuaskan akal juga menentramkan hati. Bukan sekulerisme, liberalisme bahkan demokrasi dan turunannya yang berhukum pada akal manusia semata yang lemah dan rapuh.
Dengan solusi Islam ini, rakyat Indonesia akan hidup dengan kualitas yang baik. Jelaslah bahwa hanya dengan Khilafah, rakyat bisa sejahtera. Hendaknya ini menjadi dorongan bagi kita untuk menegakkan Khilafah agar kehidupan yang buruk saat ini segera berakhir dan berganti dengan kehidupan yang mulia. Wallahualam.