Oleh: Wiratmi Anitasari, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, akhir akhir ini cukup menyita perhatian masyarakat. Bahkan kasus-kasus seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kasus tindak kekerasan di satuan pendidikann terjadi dari tingkat satuan pendidikan terendah sampai tingkatan perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan kemungkinan bisa terjadi di setiap jenjang umur.
Tindak kekerasan dalam KBBI diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dan kekerasan menurut WHO adalah penggunaan seluruh kekuatan fisik demi mendapatkan kekuasaan yang biasanya disertai dengan ancaman, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak lain seperti, memar, kematian, kerugian psikis, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 54 menyatakan dalam ayat (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Korban kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan bisa saja terjadi pada Siswa, Guru, Kepala Sekolah, tenaga Tata Usaha, Tenaga Kebersihan dan semua yang menjadi warga sekolah. Menurut Pasal 1 Permendikbud RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan, tindak kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka, cedera, cacat, dan atau kematian.
Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan ini selalu mengalami perubahan dan penyempurnaan. Namun anehnya sampai sekarang masih banyak sekali beredar pemberitaan dari berbagai media tentang tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Kasus kekerasan yang terjadi di tahun 2023 saja sudah ada sejumlah kasus. Ada kasus penamparan dan hukuman berdiri dengan satu kaki di salah satu MTs di Gresik Jawa Timur. Kekerasan berupa pembakaran santri di salah satu pondok pesantren di Pasuruan Jawa Timur. Selain itu ada juga dugaan kekerasan seksual di Jember yang dilakukan oleh kiai kepada santriwatinya.(www.medcom.id)
Di rilis dari mediaindonesia.com, berdasarkan pendataan yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa kasus kekerasan seksual (KS) yang terjadi di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbudristek atau Kemenag RI yang dilakukan sejak Januari sampai Mei 2023, data menunjukkan sudah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 peserta didik. Hal ini bisa dikatakan setiap pekan terjadi satu kasus.
Menurut tim kajian FSGI dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (7/8/2023) dikatakan bahwa maraknya kasus bullying utamanya dilakukan sesama peserta didik dengan persentase pelaku dan korban bullying dari peserta didik di atas 90 persen. Di katakan pula bahwa korban terbesar adalah peserta didik sebesar 95,4 persen dengan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik yaitu sebesar 92, 5 persen.
Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, Jumat(10/3/2023), “Ada 24 persen yang rawan mengalami bullying, kekerasan di lingkungan pendidikan. Dan belum mengalami banyak perubahan. Beliau mengatakan bahwa secara angka 24 persen minoritas, tapi 24 persen dari 300 ribu satuan pendidikan itu banyak sekali dan termasuk luar biasa genting. (news.republika.co.id, 07 Januari 2023)
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan.Terbaru adalah secara resmi Mendikbudristek meluncurkan Merdeka Belajar ke-25 yaitu Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penenganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) dan merupakan penyempurnaan dari Permendikbud PPKSP sebelumnya. Apalagi dalam Kurikulum Merdeka saat ini, sangat mengutamakan pendidikan karakter.
Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan ini tentu saja sangat memprihatinkan dan memperburuk citra lembaga pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mendidik dan membina para generasi penerus bangsa menjadi tempat yang tidak nyaman bagi warganya. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus karena dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan biasanya berdampak panjang.
Langkah-langkah strategis yang diambil Pemerintah ini sayangnya tidak cukup efektif untuk menuntaskan persoalan. Buktinya adalah kasus-kasus baru masih banyak terjadi di lingkungan satuan pendidikan, sementara kasus-kasus lama belum terselesaikan. Solusi yang dilakukan Pemerintah masih terkesan pragmatis dan tidak menyentuh akar masalahnya.
Pemerintah dengan meluncurkan peraturan perundang-undangan tentang kekerasan di lingkungan sekolah seolah-olah sudah andil dalam menyelesaikan permasalahan ini. Berulangkali peraturan diluncurkan, berulangkali pula kasus yang sama bermunculan. Hal ini menandakan bahwa penanganan kasus kekerasan di ligkungan sekolah tidak cukup hanya dengan dikeluarkannya aturan.
Kadangkala penerapan satu aturan bertentangan dengan penerapan aturan lain. Tapi begitulah sistem pengaturan dalam sistem sekuler yang hanya mengutamakan manfaat dan materi yang memisahkan agama dengan sistem peraturan kehidupan. Peraturan dibuat tanpa dibarengi dengan bagaimana bisa dijalankan, siapa yang harus bertanggungjawab, sanksi apa yang harus dijalankan agar tidak terjadi lagi pengulangan kasus yang sama dan sebagainya.
Penerapan Sistem Pendidikan Sekuler akan melahirkan generasi-generasi sekuler. Generasi-generasi yang tidak melibatkan Allah dalam menyelesaikan persoalan kehidupan, tidak menjadikan Alqur’an dan Hadist sebagai rujukan dalam mencari solusi segala permasalahan. Maraknya kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan harusnya cukup menjadi tamparan keras pemimpin negeri ini dan menunjukkan rusaknya sistem sekuler kapitalis dalam mengatur sistem kehidupan saat ini.
Aturan kehidupan yang dipakai saat ini sungguh sangat jauh dari penerapan aturan Allah SWT, Sang Pencipta alam dan seisinya. Baik penerapan dalam level individu, masyarakat maupun negara. Negara saat ini menerapkan sistem liberal kapitalis dan pragmatis dalam menyelesaikan persoalan kehidupan dimana halal dan haram tidak dijadikan standar dalam melakukan perbuatan. Wajar kalau semua persoalan negeri ini tidak mampu menyelesaikan persoalan.
Islam mengarahkan manusia untuk hidup sesuai fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Allah menciptakan bumi seisinya dan manusia dilengkapi dengan aturan-aturan yang menjadikan manusia. Sejarah mencatatkan selama kaum muslimin hidup dalam aturan islam secara kaffah, permasalahan ini tidak banyak terjadi. Kalaupun ada hanya satu atau dua kasus saja dan dapat diatasi dengan keadilan.
Sistem Islam telah terbukti mampu melindungi jiwa kaum muslimin dari kekerasan dan tindak kejahatan. Dalam Islam fitrah manusia benar-benar terjaga. Satuan Pendidikan menjadi jantungnya peradapan, semua unsur pendukung pendidikan hanya ditujukan dan berdasarkan syariat Islam.
Semua komponen dari individu, keluarga, masyarakat dan negara sangat menjaga penerapan Islam secara kaffah. Dengan tertancapnya keimanan yang kuat dalam dada setiap individu, masyarakat dan negara akan menjadi kontrol ketat dalam mencegah keburukan dan kemunkaran. Sistem Islam dalam ranah kehidupan benar-benar menjadikan solusi semua problematika umat.
Allah SWT berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Wallahu a’lam bishawab