Oleh : Ummu Aqeela
Proses pemeriksaan tubuh atau body checking terhadap para finalis Miss Universe Indonesia 2023 yang dilakukan di ballroom sebuah hotel di Jakarta Pusat disebut turut disaksikan oleh tiga orang pria.
Informasi ini disampaikan oleh pihak pelapor dalam laporan dugaan pelecehan seksual yang dilayangkan ke Polda Metro Jaya.
"Yang menurut keterangan pelapor di sana ada tiga orang laki-laki, kemudian juga ada satu orang wanita, sekitar beberapa saksi yang lain," kata Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi di Polda Metro Jaya, Jumat (11/8).
Hengki menuturkan pelapor juga menerangkan dalam proses body checking itu korban dipaksa untuk melepas pakaian dan difoto tanpa busana. Padahal, body checking itu tak dilakukan di ruangan tertutup. Ia mengatakan kegiatan itu dilakukan di sebuah ruangan yang terbilang sedikit terbuka.
"Kemudian juga para korban ini merasa dipaksa untuk melepas bajunya kemudian difoto dan sebagainya. Bukan oleh ahli medis melainkan orang-orang yang tidak berkapasitas," ujarnya.
Hal tersebut diatas terjadi tidak lepas dari sistem yang diemban dan diterapkan di berbagai negera. Sistem Kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan oleh kebanyakan negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki cara pandang yang khas dan akan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat ini, perempuan diperlakukan dan dipandang sebagai komoditas dan "mesin pencetak" uang. Oleh karena itu, tidak heran kini kasus trafficking serta pelecehan perempuan kian marak.
Kapitalisme pun membuat kemolekan tubuh dan kecantikan perempuan dijadikan aset iklan, model, film, video porno, penghibur, maupun pekerja seks yang dapat menyumbangkan pajak yang besar bagi negara. Kapitalisme terus berusaha untuk mengeksploitasi waktu, tenaga, pikiran, dan tubuh perempuan menjadi uang. Apapun dilakukan untuk menghasilkan dan mendapatkan uang. Kian tumbuh suburlah materialis di dunia. Mereka seperti robot yang dikendalikan oleh tangan-tangan Kapitalis. Perempuan sejatinya sedang dijajah baik tubuh dan pemikirannya oleh para Kapitalis. Namun alih-alih sadar mereka malah menyangka bahwa kehidupan yang mereka jalani sekarang adalah sebuah kehormatan dan kesuksesan.
Standar kebahagiaan pun dikondisikan, agar semua orang mengartikan bahagia itu jika mempunyai banyak uang, gelar, kedudukan yang tinggi, dan hal lain yang berstandar pada materi. Sekilas hal ini mungkin terkesan biasa, namun di balik manisnya propaganda para kapitalis ternyata ada dampak bagi para perempuan, anak-anak, keluarga dan masyarakat.
Perempuan akan semakin banyak yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja, baik dalam keadaan terpaksa maupun sukarela. Semakin banyak anak-anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua, sehingga akan semakin marak pula kenakalan anak-anak atau remaja dari mulai berbohong hingga terjerumus dalam kriminalitas serta pergaulan bebas. Angka perceraian pun semakin meningkat karena timbulnya konflik, salah satunya penghasilan istri yang lebih besar dibandingkan suaminya.
Sayangnya, pemerintah di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia justru terkesan mengabaikan fenomena yang menimpa perempuan di dunia ini. Pemerintah bahkan mendukung kondisi yang mendzalimi perempuan ini dengan membiarkan berbagai aktifitas dan eksploitasi dari yang tidak terlihat sampai yang terekspos di media. Bahkan Pemerintah malah membanggakan dan berpendapat bahwa hal ini akan berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Meskipun, pendapatan negara ini banyak dinodai dengan penganiayaan, kekerasan, serta pelecehan terhadap kaum perempuan. Pemerintah memperlakukan rakyatnya sebagai sumber pendapatan negara, bertransaksi dengan rakyat sebagai regulator semata, bukan sebagai pelindung, pengayom, dan penanggung jawab nasib setiap individu warga negaranya.
Kontras dengan kapitalisme, Islam sangat memuliakan perempuan. Prinsip-prinsip Islam menetapkan perlindungan penuh terhadap kaum perempuan. Kesuksesan perempuan tidak diukur dari parameter nilai materi yang bisa mereka dapatkan serta prestasi karir yang mampu mereka capai, namun diukur dari ketakwaannya sesuai dengan jalur ketakwaan yang Islam gariskan untuk kaum perempuan. Tidak hanya itu, Islam juga merincikan dengan detai hak-hak perempuan sebelum menikah, pasca menikah dan setelah menjadi ibu.
Perempuan adalah ummu wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Itulah peran esensial kaum perempuan yang sangat berimbas terhadap potret peradaban. Maka tak heran jika dikatakan “al ummu madrasah al-ula (ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya)”, sebab perempuan memiliki kedudukan eksklusif dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Peran perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga tentu tak dapat dipahami secara kontekstual, sebab perempuan juga dapat (bahkan dikenakan kewajiban) menimba ilmu seluas-luasnya, menyalurkan ilmunya, berkarya untuk kemaslahatan dan memasuki jamaah dakwah. Namun tentu dengan batasan-batasan paten yang telah Islam syariatkan.
Nah, batasan inilah yang sejatinya selalu didengungkan oleh kalangan anti Islam untuk melabeli Islam sebagai agama yang mengekang perempuan serta memenjarakan kebebasan perempuan dalam menyalurkan ekspresi dan jati dirinya. Padahal, Islam mengkoridori perempuan agar tetap terjaga kemuliaannya. Tanpa membatasi diri dengan hukum syariat, perempuan akan kebablasan sehingga mereka mudah dilucuti zaman, hilang kelembutan, serta menjadi objek eksploitasi para kapitalis. Mereka lupa bahwa batasan diperlukan agar kita tidak bablas dalam melangkah. Dan dalam Islam batasan itu sudah jelas, yaitu syari'at yang berpedoman pada Al quran dan as sunnah.
Jika kaum perempuan mau menetapi diri untuk mengilhami bagaimana Islam mengagungkan mereka, niscaya mereka akan sepenuhnya rela kehidupannya dikoridori dengan hukum-hukum Islam. Jika kaum perempuan mau menelaah dalam-dalam bagaimana nilai mereka dalam pusaran pemilik modal, niscaya mereka bahkan tidak lagi sudi menjadi makhluk tutorial para kaum kapitalis.
Wallahu’alam bi showab