Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi melontarkan gagasan terkait pembentukan satgas pengawasan medsos saat dilantik menjadi Menkominfo baru pada 17 Juli 2023 lalu.
Selain mengomentari soal perkembangan Project S TikTok dan social commerce, ia saat itu menjawab pertanyaan soal urgensi pengawasan medsos yang kian hari kian meresahkan. Ia mengatakan, tidak mudah untuk mengatasi potensi permasalahan yang muncul dari kemajuan teknologi.
Mengomentari hal ini, maka ada banyak pihak yang menganggap bahwa ide ini jauh dari hakekat solusi. Ide ini tidak lebih dari upaya memata – matai rakyat. Selain dipandang akan mengancam kebebasan berekspresi, juga bisa mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Terlebih jika pendekatan yang dilakukan pemerintah sering kali menggunakan jalur punishment alias pendekatan punitif sebagaimana yang selama ini dijalankan.
Justru, semestinya pemerintah bisa melihat ada yang jauh lebih urgen diperhatikan terkait peran media massa, termasuk medsos. Generasi hari ini faktanya sedang dibombardir oleh konten-konten negatif yang merusak akhlak, baik berbentuk pemikiran atau pemahaman, maupun budaya yang menjauhkan mereka dari adab. Konten kekerasan, pornografi pornoaksi, ide-ide sekuler liberal, aliran sesat, bahkan komunisme dan ateisme. dengan mudah diakses oleh masyarakat, terutama generasi muda yang hidup tanpa barier.
Dampak negatifnya tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Betapa banyak kasus kejahatan dan kerusakan moral yang dilakukan oleh generasi muda, bahkan anak-anak, dipicu oleh konten-konten rusak di medsos. Kehancuran keluarga dan generasi pun benar-benar ada di hadapan mata, dan semuanya tidak lepas dari peran medsos yang dibiarkan liar.
Sayangnya, pihak pemerintah justru lebih aware dengan konten-konten yang berpengaruh terhadap kelangsungan kekuasaan. Mereka bahkan cenderung alergi terhadap kritik dan gagasan-gagasan soal perubahan, terlebih jika arus itu “berbau Islam”. Pembahasan politik Islam dipandang sebagai ide radikal dan membahayakan. Narasi isu SARA, politik identitas, radikalisme Islam, dan sejenisnya, terus digaungkan sebagai penghalang bagi jalan kebangkitan Islam.
Mirisnya lagi, negara justru turut mengaruskan konten yang menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang benar dan menyelamatkan. Gagasan moderasi Islam malah digencarkan di berbagai kanal. Alih-alih membuat generasi memiliki perisai penjaga dari kerusakan, mereka malah dijerumuskan ke dalam rimba dunia maya yang penuh jebakan tanpa pertahanan ideologi Islam.
Berbeda halnya dengan Islam. Soal media massa, kedudukannya dalam negara Islam dipandang sebagai sesuatu yang sangat strategis. Media massa berfungsi melayani ideologi Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Ke dalam sebagai sarana dakwah dan pendidikan, ke luar menjadi sarana propaganda menyampaikan dakwah Islam dan jihad fi sabilillah.
Oleh karenanya, Islam akan menetapkan rambu-rambu yang rigid soal media massa dan peran negara sangatlah sentral. Media massa, termasuk medsos, tidak boleh jadi alat propaganda keburukan, melainkan menjadi pengukuh keimanan dan ketaatan rakyat pada syariat Islam, menjaga kesatuan dan persatuan, sekaligus mengukuhkan kedaulatan negara di hadapan negara luar.
Semua ini tentu tidak lepas dari hukum-hukum Islam lainnya, termasuk sistem sanksi Islam yang tegas yang akan menjaga agar peran media massa dan penggunanya tetap ada dalam koridor Islam. Wallahu a’lam bi ash showab.