Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Peradaban)
Riba adalah perbuatan haram yang masih belum banyak diperhatikan. Umat menganghap seperti jual beli biasa. Perlu peran ulama untuk memberi perhatian agar tidak semakin terjerat pada riba. Peran negara untuk mencukupi kebutuhan umat.
Dilansir KOMPAS.com- Wali Kota Madiun, Maidi mengancam akan memecat Aparatur Sipil Negara dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K) di wilayahnya yang menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai untuk jaminan utang di bank. Ancaman itu disampaikan Wali Kota Madiun Maidi saat menjadi narasumber pada pelatihan Implementasi Pembelajaran Digital Dengan Chromebook untuk kepala sekolah, guru SD dan SMP di Gedung Diklat Pemkot Madiun, Senin (10/4/2023).
Di beberapa kalangan ada yang sangat girang bila telah mendapatkan SK pengangkatan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kegirangannya sebagian pegawai adalah agar bisa mengajukan kredit bank dengan mudah. Kalau kredit bisa dengan mudah tentu akan mendapatkan mobil, motor, atau rumah dengan mudah. Itulah mengapa sebagian orang begitu semangat menjadi PNS, namun kami tidak katakan semuanya punya maksud seperti itu. Mohon tidak salah paham. Namun inilah prinsip sebagian pegawai.
Masa pengembalian pinjaman atau tenor ada yang maksimal adalah 10 tahun dengan besaran cicilan adalah 60% dari gaji pemohon kredit yang bersangkutan. Yang kami dengar dari sebagian pegawai negeri, gara-gara mesti mencicil seperti itu dari gajinya, sampai ada yang hanya membawa pulang Rp.60.000,- ketika gajian karena sebagian besar membayar cicilan di mana-mana.
Harta Riba Gelisahkan Jiwa
Kaya dengan harta riba jelas tidak tenang. Dosa dan harta haram jelas menggelisahkan jiwa.
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Kaedah yang patut diingat oleh setiap muslim bahwa setiap utang piutang yang dalamnya ada keuntungan, maka itu adalah riba. Hakekat yang terjadi dari jual beli kredit lewat leasing atau bank adalah utang piutang bukan jual beli. Ini yang patut dipahami.
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Bukan hanya rentenir yang kena laknat, namun nasabah riba kena laknat. Patut diingat bahwa makna laknat adalah jauh dari rahmat Allah.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Pembahasan ini perlu dikemukakan karena sebagian pegawai negeri baru merasakan penyesalan setelah mengetahui hukum riba. Semoga semakin membuka hati pegawai yang lain dan kaum muslimin secara umum akan bahaya riba.
Coba kita memiliki sifat qana’ah, yang dijadikan standar mulia bukanlah kekayaan harta namun hati yang baik dan selalu merasa cukup.
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Ini doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering beliau panjatkan agar kita selalu dicukupi dengan yang halal,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghni-nii bi fadhlika ‘amman siwaak”, artinya: Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan)
Tak hanya untuk PNS, tapi muslimah secara umum bahwa riba itu haram. Jadi harus dijauhi,
jangan menggampangkan transaksi riba. Prinsip penting yang harus dipegang, kita hidup mencari keberkahan, agar hati tenang, bisa menjalankan ketaatan kepada Allah dengan baik.
Bagaimana Allah secara Tegas Memberi Peringatan Tentang Haramnya Riba?
QS. Al-Baqarah Ayat 275
اَلَّذِيۡنَ يَاۡكُلُوۡنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوۡمُوۡنَ اِلَّا كَمَا يَقُوۡمُ الَّذِىۡ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيۡطٰنُ مِنَ الۡمَسِّؕ ذٰ لِكَ بِاَنَّهُمۡ قَالُوۡۤا اِنَّمَا الۡبَيۡعُ مِثۡلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Orang-orang yang memakan riba yakni melakukan transaksi riba dengan mengambil atau menerima kelebihan di atas modal dari orang yang butuh dengan mengeksploitasi atau memanfaatkan kebutuhannya, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.
Mereka hidup dalam kegelisahan; tidak tenteram jiwanya, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian, sebab pikiran dan hati mereka selalu tertuju pada materi dan penambahannya. Itu yang akan mereka alami di dunia, sedangkan di akhirat mereka akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah yang akan mereka tuju dan akan mendapat azab yang pedih.
Yang demikian itu karena mereka berkata dengan bodohnya bahwa jual beli sama dengan riba dengan logika bahwa keduanya sama-sama menghasilkan keuntungan. Mereka beranggapan seperti itu, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Substansi keduanya berbeda, sebab jual beli menguntungkan kedua belah pihak (pembeli dan penjual), sedangkan riba sangat merugikan salah satu pihak. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, setelah sebelumnya dia melakukan transaksi riba, lalu dia berhenti dan tidak melakukannya lagi, maka apa yang telah diperolehnya dahulu sebelum datang larangan menjadi miliknya, yakni riba yang sudah diambil atau diterima sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan, dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulangi transaksi riba setelah peringatan itu datang maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Al-Qur'an menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya, dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah. Maksud perumpamaan pada ayat ini untuk memudahkan pemahaman, bukan untuk menerangkan bahwa Al-Qur'an menganut kepercayaan seperti kepercayaan orang Arab jahiliah.
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu.
Dari penegasan itu dipahami bahwa seakan-akan Allah memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui, memikirkan dan memahami perbandingan itu.
Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak, dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada penukaran dan penggantian yang seimbang. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung, yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai barang terhadap pihak yang sedang memerlukan, yang meminjam dalam keadaan terpaksa.
Setelah Allah menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba, pikiran yang sedang mempengaruhi keadaan pemakan riba, dan penegasan Allah tentang hukum jual beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah lembut, yang langsung meresap ke dalam hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas.
Allah swt menyebut larangan tentang riba itu dengan cara mau'idhah (pengajaran), maksudnya larangan memakan riba adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, agar hidup bahagia di dunia dan akhirat, hidup dalam lingkungan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian.
Barang siapa memahami larangan Allah tersebut dan mematuhi larangan tersebut, hendaklah dia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan. Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan. Mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya.
Dalam ayat ini terkandung suatu pelajaran yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu: suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu, sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya.
Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba, kemudian mengerjakannya kembali setelah turunnya larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Menurut sebagian mufasir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah.
Orang yang demikian adalah orang yang tidak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya, yaitu iman yang didasarkan pada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah. Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengaku beriman kepada Allah, maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya.
Hasan al-Basri berkata, "Iman itu bukanlah perhiasan mulut dan angan-angan kosong, tetapi iman itu adalah ikrar yang kuat di dalam hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan. Barang siapa yang mengatakan kebaikan dengan lidahnya, sedang perbuatannya tidak pantas, Allah menolak pengakuannya itu. Barang siapa mengatakan kebaikan sedangkan perbuatannya baik pula, amalnya itu akan mengangkat derajatnya,"
Rasulullah saw bersabda:
"Allah tidak memandang kepada bentuk jasmani dan harta bendamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalmu." (Riwayat Muslim dan Ahmad)
Peran Negara untuk Memenuhi Kepentingan Umat agar tak Terjerat Riba
Kebijakan pemimpin yang paham hukum riba harus tegas. Umat yang suka pinjam bank, coba dievaluasi. Untuk apa pinjam bank, akan terkena bunga yang artinya riba.
Jika untuk kebutuhan pokok bisa dibantu oleh pemerintah. Tugas pemerintah untuk memberi kebijakan tegas bahwa riba itu haram, membuat jiwa tak tenang, ujungnya berakibat dosa dan axab Allah. Maka dari itu harus ditinggalkan dengan alasan apapun.
Kebutuhan kesehatan, pendidikan, juga diurus oleh negara. Jadi tak ada alasan lagi pinjam bank buat apa saja, karena semua kebutuhan akan ditanggung negara.
Wallahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini