Pembacokan Dini Hari di Jatisari



Oleh : Kai Zen


Kasus Pembacokan

Kasus pembacokan menimpa dua orang lelaki di Jalan Jatisari Kelurahan Sumampir Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, Selasa (25/7/2023) dini hari.
Keduanya, yakni Janu dan Reno warga Kelurahan Sumampir. Mereka dibacok oleh orang tidak dikenal usai mereka berdua makan di warmindo yang berada di Jalan Riyanto Kelurahan Sumampir.

Akibat pembacokan itu pun, Janu mengalami luka bacokan pada bagian wajah dan Reno mengalami luka tusukan pada bagian perut dan pahanya.

Janu (37), salah satu korban saat ditemui RS DKT mengatakan, pembacokan itu bermula ketika ia bersama dengan dua orang temannya selesai makan di warmindo.
Setelah makan, Ia mual dan muntah di pinggir jalan sekitar pukul 03.30 WIB.
"Ada dua orang lewat, menggunakan sepeda motor Vario dan Supra yang di step. Saya lagi muntah-muntah dikira manggil mereka. Kemudian terjadi adu mulut hingga berantem sama temen saya, saya juga didorong. Saya lagi sama dua teman saya," katanya.

Ketika Nurani dan Akal Sehat Hilang Kendali
Unit Reskrim Polsek Purwokerto Utara dan Unit Resmob Sat Reskrim Polresta Banyumas berhasil mengamankan 2 pelaku pembacokan di Kelurahan Sumapir Kscamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, Sabtu (28/7/2023).
Pelaku berinisial MAR alias ADI (43) dan juga MYG (35) diamankan atas kasus dugaan tindak pidana membawa senjata tajam tanpa ijin dan bersama sama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka pada korban
Para pelaku dijerat Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Darurat nomor 12 tahun 1951 dan Pasal 170 ayat 2 KUHP. Adapun isi dari pasal 2 ayat (1) adalah :
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerma, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dala miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek,- of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Seseorang melakukan pembacokan hanya karena merasa tersinggung atas ejekan yang bahkan belum jelas. Sebab pada faktanya ternyata korban hanya sedang berusaha memuntahkan makanannya karena mual. Sebegitu mudahnya seseorang tersulut emosinya hingga menjadikan senjata tajam sebagai pelampias amarahnya serta nyawa sebagai sasaran utama. Padahal itu merupakan persoalan komunikasi yang bisa diselesaikan tanpa kekerasan.

Undang-undang yang mengatur tentang senjata tajam telah mengatur bahwa hukuman bagi penyalahgunaan senjata tajam adalah hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun. Namun hal itu belum mampu mengurungkan niat pelaku untuk melanjutkan aksinya? Hal ini tidak lebih karena semakin berjaraknya agama dari kehidupan. Agaa cenderung tidak dijadikan pedoman dala beraktivitas. Alhasil, setiap orang merasa tanpa beban melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma. Ancaan hukuman penjara 10 tahun tidak menjadikan seseorang takut untuk menggunakan senjata sebagai sekedar pelapias amarah. Terhadap hukuman penjara saja tak takut apalagi berfikir pada konsekuensi yang lebih jauh yakni pertanggungjawaban di Hari Penghisaban.

Kemanusiaan merupakan hal fundamental yang bahkan dibahas sejak awal sebelum 17 Agustus 1945 dibacakan teks proklamasi. Namun, itu belum terwujud sepenuhnya hingga kini. Sebab memang karena nilai-nilai luhur agama perlahan mulai luntur. Ketika Agama semakin dijauhkan dari kehidupan maka tatanan masyarakat akan seperti ikan di darat yang kehilangan cara untuk bernafas.

Tentang Senjata Tajam

Ketajaman sebuah benda memiliki fungsi untuk mengiris, memotong dan membelah. Hal itu tidak berarti bahwa hal ini menjadikan tajamnya suatu benda bisa digunakan untuk mengiris kulit manusia. Dalam penggunaan ketajaman suatu barang kita diuji dua hal yakni kejernihan berfikir dan kelembutan nurani. Apalagi sebagai muslim tentunya kita akan ditanyai berkaitan dengan alasan melakukan suatu aktivitas. Hal itu yang tidak mungkin terfikirkan oleh kaum yang menjauhkan nilai-nilai Syariat dari kehidupannya.

Penggunaan alat tajam dalam Islam tentu diperbolehkan misalnya dala penyembelihan hewan qurban justru disarankan menggunakan alat yang telah ditajamkan agar tidak menyakiti hewan sebagai qurban. Dalam peperangan pun penggunaan senjata diperbolehkan dengan ketentuan hanya untuk memerangi tentara pasukan kafir tidak memerangi warga sipil yang tanpa senjata terutama orang lanjut usia, wanita dan anak-anak.

Pelaku kekerasan fisik terhadap oranglain memungkinkan untuk mendapatkan balasan yang setimpal sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap korbannya. Sebagaimana yang telah dikabarkan dalam Qur’an Surat Al Ma’idah ayat 45. Hukuman dalam Islam dipandang bukan semata untuk memberikan ketidaknyamanan terhadap pelaku, yang mana ketidaknyamanan itu bisa ditawar dengan jumlah rupiah semakin besar rupiahnya maka semakin besar pula kemungkinan hukuman diringankan.

Sementara dalam Islam, Hukuman dilaksanakan dengan tujuan memberikan efek jera. Ketika sebuah kejahatan dibalas dengan yang setimpal tentu akan menimbulkan rasa tidak ingin mengulangi dan akan menjadi pelajaran tersendiri bagi oranglain yaitu tidak akan melakukan kejahatan yang saa sebab hukumannya benar-benar nyata. Lebih special lagi dalam Islam hukum yang telah dilaksanakan adalah sebuah peleburan dosa. Maka ketika seseorang melakukan kekerasan terhadap telinga saudaranya maka kelak di Akhirat tidak akan ditanya lagi perihal tersebut. Ma Sya Allah.

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang saa). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al Ma’idah Ayat 45)
Wallahu A’lam Bish Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak